Wednesday, October 22, 2014

DARI PAULO FREIRE KE INDONESIA

Oleh: Sahril

Pendidikan hadap masalah senantiasa membuka rahasia realitas yang menantang manusia dan kemudian menuntut jawaban terhadap tantangan itu  dan jawaban terhadap tantangan membawa manusia kepada dedaksi yang utuh . pengetahuan adalah keterlibatan begitulah pernyataan Paulo freire, yang memberikan system baru pada pendidikan “problem-posing education” atau “pendidikan hadap masalah” yang bagi Paulo fraire system ini mampu menumbuhkankonsientisasi. Karena murid hanya tertidur, dalam hafalan dan tergantung pada pendidik untuk membuka wawasan mereka tentang masa depan. Maka dengan harapan ada konsientisasi atau kesadaran diri tetapi bukan hanya dinilai sekedar bentuk refleksi tetapi dengan aksi yang nyata, akan membuka wawasan baru dimana peserta didik punyak peranan penting dan keterlibatan dalam menentukan segala bentuk tantangan pada realitas.

Namun pada saat ini bentuk konsientisasi ini sering kali terlupakan oleh pendidik, kesadaran bagi pendidik hayalah semata-mata dengan melakukan peran dan tugasnya dalam melakukan transfer of knowledge, padahal tanpa disadari system ini akan menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan, sama halnya bentuk seorang peserta didik, diumpamakan bagaikan hewan yang dilatih sesuai keinginan pendidiknya. System pendidikan seperti ini, dimana siswa hanya menjadi objek seringkali disebutkan oleh Paulo freire sebagai konsep pendidikan “gaya bank”. Guru
membicaraka realitas seolah-olah sesuatu yang tidak bergerak, statis, terpisah satu sama lain, dan dapat diramalkan. Atau dia menguraikan sebuah topic yang sama sekali asing bagi pengalaman eksistensial para murid. Paulo freire juga menyebut ini sebagai pendidikan bercerita, baginya: Ciri yang sangat menonjol dari pendidikan bercerita ini, adalah kemerduan kata-kata, bukan kekuatuan pengubahnya. “Empat kali empat sama dengan enam belas,  ibu kota para adalah Balem”. Murid-murid mencatat, menghafal dan mengulangi ungkapan-ungkapan tersebut tanpa menyadari makna sesungguhnya dari empat kali empat, atau tanpa menyadari makna sesungguhnya dari kata “ibu kota” dalam ungkapan “ibu kota para adalah Balem”, yakni apa arti Balem bagi Para dan apa arti Para bagi Brazil. (Fraire, Paulo. 2011. Pendidikan Kaum tertindas. Jakarta. LP3S. Hal: 52)
Apakah hal demikian yang diungkapkan oleh Paulo freire juga tercerminkan pada pendidikan diindonesia?. Pendidikan Indonesia pada sebagaian masih mempraktekkan hal demi kian adanya, guru-guru hanya datang dan mengajar sesuai dengan yang sudah dirancang sedemikian dalam silabus, yang diamana cara-cara penyampain dan yang disampaikan sesuai dengan apa yang ada didalam buku, dan mengesampingkan realitas-realitas pada sosial disekitarnya.
Para peserta didik hanya disuruh mencatat, menghafal dan mengulangnya, tanpa melakukan praktek menyesuaikan dengan kondisi alam disekitar lembaga pendidikan tersebut. Seolah-olah Alam yang dituntut menyesuaikan buku, bukan buku menyesuaikan realitas. Maka atas dasar inilah peserta didik tidak bisa mengenali sosial mereka, dan mengembangkan sosial mereka.
Dan aktivitas pembelajaran di Indonesia belum bisa membuka kesadaran secara aktif yang menuntut peserta didik bisa melakukannya tanpa harus dengan paksaan oleh pendidiknya. Salah satunya adalah dalam keterlibatan peserta didik untuk mengembangkan wilayahnya. Dan terlibat dalam pembangunan di tempat tinggalnya sesuai dengan bakatnya.
Pada umumnya kesadaran untuk belajarpun masih sangat minim bagi peserta didik, hal ini dikarenakan kesadaran pada diri mereka tidak ditumbuhkan menyesuaikan dengan kondisi dan kepribadiannya. Salah satu contohnya kepada anak SD ketika diberika pilihan belelajar, makan, dan bermain, mereka akan memilih untuk bermain, maka pendidikan harus menyesuaikan kompetensi dan kekereatifitas seorang peserta didik bukan peserta didik menyesuaikan agar tidak terjadi suatu kebosanan dan hingga akhirnya yang terjadi adalah malas untuk belajar dan pergi dari sekolah.

No comments:

Post a Comment