......Andai
saja bisa kupandang, mungki aku sudah bisa mengerti
Namun
cukuplah kenyakinanku membawaku kepadamu....
Pagi ini sungguh menyakitkan bagiku, saat kusadari diriku
terkapar kerena tak ada harapan untukku hidup. Penyakit yang menyerangku seakan
membuatku putus asa, ditambah aku telah divonis oleh dokter usiaku tinggal
beberapa hari lagi. Namun yang membuatku kanget ketika aku mendapatkan selembar
kertas.
Sangat
membingungkan bagiku mengapa aku harus percaya cinta, sementara cinta kasihku
akan pupus seiring dengan kematianku. Persetan sengan cinta, aku tak percaya
lagi dengan cinta karena banyak yang meninggalkanku. Dulu bilang cinta
sementara ketika aku sakit mereka tak pernah ada disampingku. Aku merasa tak ada harapan lagi yang akan
membuatku percaya dengan cinta.
Aku
hanya bisa jalan-jalan dengan bantuan kursi roda, kaki telah mati rasa dan tak
bisa digerakkan. Aku hanya menyadari satu, aku masih hidup karena fikiranku
yang bisa menembus perjalanan jauh hinga bisa mengelilingi dunia. Ku hanya bisa
mengerti beban yang terberat ketika harus berfikir apa maksud dengan tulisan
itu. Mungkin bagi orang lain biasa saja namun bagiku ada maksud dari pertanyaan
itu.
Aku
berfikitr keras siapa yang mengirimkanku sebuah pertanyaan itu mengapa ia
mengetahui perasaanku, hendak permainan apa yang ingin ia buat dengan
pertanyaan tentang cinta, sementara aku telah kehilangan kepercayaan akan
cinta. Mungkin saja bagiku ia sekedar tanya. Tapi mengapa? Ia harus bertanya
kepadaku?.
Aku
lelah memikirkannya, aku hanya ingin tidur saja, meski aku ingin menikmati
hidup sebelum aku memejamkan mata untuk selamanya. Namun rasa ngantukku tak
bisa kuhindari, mungkin karena semalaman aku masih belum tidur, bagi orang aku
tidur padahal fikiranku melayang meski mataku hanya terpejam.
“hai cinta” suara yang samar tak
bisa kukenali
“siapakah engkau?” tanyaku
penasaran aku kanget mengapa kakiku seakan bergerak sendiri mendekat keradio
yang berada dekat dengan tempat tidurku sesaat mendengar suara dari radio yang
awalnya tak bisa menyala.
“kau pasti telah membaca
pertayaanku. Tak usah kau takut aku adalah cintamu, wanita yang selama ini
mengagumimu. Aku datang dalam mimpimu sebagai isyarat aku bukan mencintaimu
karena tubuhmu yang kaku, atau sekedar menikmati kesehatanmu.?”
“lantas apa maksud pertayaanmu?”
“jika kau tanyakan padaku, mungkin
kau akan malas mengenali cintamu, bagaimana dengan hidupmu yang singkat akan
bermanfaat jika kau hanya menikmati dan menjalaninya tanpa kau mengerti apa
artinya perjalanan dalam hidupmu”
“aku menghitung yang tak
bermanfaat, menunggu waktuku akan berakhir. Apa yang lantas aku harus nikmati
jika aku mengerti akan kematianku, aku hanya akan menjalani hidup dengan
menunggu esok dan esok,”
“ya, mungkin sunguh tidak
mengenakkan vonis yang diberikan dokter kepadamu. Waktumu akan berjalan dengan
deadline usia. Kau akan sangat hati-hati memperhitungkan semua yang ingin kau
kerjakan. Lantas karena kehati-hatianmu membuatmu membuang banyak hal yang
kurang bermanfaat bagimu, sementara yang kau sangkakan bermanfaat ternyata
hanya impian semata yang tak bisa kau kerjakan hingga habis masa usiamu tanpa
berbuat apa-apa yang akan kau tinggalkan.”
“cukuplah cinta, aku mencintaimu
luangkanlah waktumu untuk mencintaiku... jika kau percaya cinta maka cintailah
aku?”
“ah,” desahku kebingungan
“bagaimana aku harus mencintaimu? sedangkan aku tak mengenalmu dan tak pernah
melihatmu”
“kau percaya aku ini ada?”
“mungkin, karena aku tak pernah
melihatmu, aku takut kau hanya sebuah robot yang diprogram untuk menemaniku.?”
“lantas bagaimana kau akan percaya
kepadaku?”
“siapakah engkau?”
“aku adalah seseorang yang
mencintaimu! Cukup! Cukup itu yang engkau ketahui cintaku Mas’ud.”
Mendengar
ucapannya aku malah tambah penasaran siapkah wanita itu mengapa hatiku
bergejolak ingin melihatnya, apakah aku telah terperangkap kembali dalam jeratan
cintanya. Ketika aku berfikir sejenak tentang suara itu yang masih terus
menyapaku. Aku memejamkan mata sambil berfikir, namu ketika kubuka kembali
mataku tiba-tiba aku melihat rungan dan tubuhku yang terkapar berbaring diatas
kasur. Kugerakkan kakiku untuk berdiri mendekat keradio yang berada di meja,
namun anehnya aku tidak dapat menggerakkannya. Baru kusadari bahwa percakapanku
hanyalah sebuah mimpi saja.
aku
kembali memejamkan mata, dengan harapan aku bisa menikmati sisa hidupku dialam
mimpi, karena aku bisa lebih bebas menikmati hidup dan bejalan-jalan tanpa
terbebani penyakitku. Kini aku merasa lebih tenang didalam mimpi, andai aku
boleh memilih aku ingin tidur saja dan terus bermimpi. Setelah kucoba untuk
tidur kembali namun susah untuk aku lakukan. Dokter datang menghampiriku lalu
tersenyum menyapaku.
“bagaimana
keadaanmu pak Mas’ud?” tanyanya sambil memeriksa detak jantungku dan aliran
darahku.
“baik-baik
saja dok?”
“tetaplah
seperti itu kita tinggal menunggu keajaiban Tuhan saja, semoga engkau bisa
sembuh”
“amin,
dok”
“ya
sudah kamu istirahat saja dulu pak”
“baik
dok.”
Dok
Sutrisnopun pergi meninggalkanku, usai memeriksa keadaanku sambil
berbincang-bincang dengan suster yang ikut masuk kekamar pasien. Mencatat
segala apa yang diberitahukan oleh dokter.
Tak
lama kemudian, suster yang bersama dengan dokter Sutrisno datang lalu memberiku
obat, dengan perlahan ia meminumkan obat kepadaku, lalu akupun tersenyum
kepadanya. Tak lama kemudian aku merasa, mataku mulai ngantuk dan tiba-tiba saat aku memejamkan mata lalu
kembali terbuka kelopak mataku, terdengar kembali suara dari radio.
“bagaimana kabarmu cinta?. Bukankah
esok adalah hari dimana para dokter mengatakan Akhir hidupmu?”
Aku
mendekat duduk didepan radio itu lalu kemudian, aku pelan-pelan bertanya
kepadanya dengan suara yang lembut seakan berbisik.
“jika aku mati, apakah aku masih
bisa ngobrol denganmu?”
“itu tergantung, tergantung
engkau!”
Aku
kaget mendengar jawabannya, apakah yang dimaksud seoran perempuan itu. Aku
terdiam memikirkannya sampai aku merasa bingung sendiri.
“apa yang kau maksud dengan tergantung
aku”
“apakah kau mencintaiku?”
Aku
tambah bingun mendengar pertanyaannya, siapakah wanita itu, mungkinkah memang
sesuatu yang mengerti akan aku. Namun inilah sebuah mimpi dan aku meminta untuk
hidup dialam mimpi ini, maka aku harus menjalaninya.
“bagaimana aku akan mencintaimu?”
“kau masih ragu akan diriku.
berarti engkau tak mencintaiku!”
“ah, bagaimana aku akan mencintaimu?.
Aku tak pernah melihatmu sekalipun, namamupun aku tak tahu.”
“cukuplah kau merasakannya.”
“merasakan apa?”
“apakah aku ada dalam hidupmu, atau
aku sekedar suara yang bagimu itu adalah imajinasi.”
“aku semakin bingung, ya mumgkin
memang kau ada”
“jika memang aku ada maka
rasakanlah aku ada dengan kenyakinanmu, apakah engkau yakin akan diriku ada.”
“bagaimana caranya?”
“kau sudah tau aku, maka cintailah
aku. Apakah engkau tak merasakan sesuatu?, apakah kau tak menyadarinya.?”
“ya, terkadang aku merindukanmu!
Meski aku tak tahu tentangmu tapi aku merasa kamu ada, dan entah mengapa aku
merindukanmu.”
“ya, itulah cinta yang kita buat
dengan perasaan”
“tapi, bolehkah aku meminta sesuatu
kepadamu,”
“Apa yang kau minta?”
“aku meminta supaya kau tampakkan
dirimu.” Pintaku sedikit memaksa.
“jarak kita terlalu jauh.”
“kalau begitu kirimkanlah aku
fotomu.”
“aku takut, kau mendewakan sebuah
foto dan berimajinasi tetang foto yang aku kirimkan, aku taku jika ia tak
sesuai dengan wajahku. Maka bukanlah aku yang akan kau cintai, hanya
imajinasimu saja yang akan kau cintai. Namun bukan diriku!”
“lantas jika kita saling mencintai,
bagaimana kita akan mencintai.?”
“yakinlah, aku melihatmu meski
dalam imajinasimu dan aku melihatmu karena memang mungkin kita pernah bertemu
namun tak berjumpa”
“bagiamana, orang yang berjumpa
tapi tak melihat?”
“ kau pernah bersalipan dengan
seseorang, dan saling memejamkan mata. Apakah engkau berjumpa namun kau tak
melihat, berhadapan namun sama-sama tidak bisa melihat. Maka yakinlah aku
pernah melihatmu meski kau belum.”
“lantas bagaimana aku harus
mencintaimu.”
“kau yakin aku ada dengan aku
melihatmu. Maka yakin saja aku ada untuk mencintaimu. yakin, yakin, dan yakin
meski kenyataanya kau tak bersamaku.”
Aku
terbangun dari mimpiku, yang ku ingat selalu hanyalah kata yakin. semenjak itu
aku selalu berharap untuk bisa berjumpa dengannya. Aku masih ingin hidup lalu
tak mengingat lagi ucapan dokter yang sudah menvonis aku akan mati. Waktu terus
berlalu hingga beberapa tahu setelah aku divonis, ternyata aku bisa
menggerakkan kakiku lalu hidup lebih lama dari pada apa yang dikatakan dokter
tentang usiaku. Semenjak itulah muncul kenyakinanku yang kudapat lewat mimpi, dan
cintaku pada keyakinan bahwa manusia hanya bisa mengira-ngira namun Tuhan yang
menentukan kematian ini.
No comments:
Post a Comment