Thursday, August 27, 2015

Berjumpa namun tak melihat



 Karya: Sahril Bin Abdul Basith

......Andai saja bisa kupandang, mungki aku sudah bisa mengerti
Namun cukuplah kenyakinanku membawaku kepadamu....

            Pagi ini sungguh menyakitkan bagiku, saat kusadari diriku terkapar kerena tak ada harapan untukku hidup. Penyakit yang menyerangku seakan membuatku putus asa, ditambah aku telah divonis oleh dokter usiaku tinggal beberapa hari lagi. Namun yang membuatku kanget ketika aku mendapatkan selembar kertas.
Apakah kau percaya cinta...?
Sangat membingungkan bagiku mengapa aku harus percaya cinta, sementara cinta kasihku akan pupus seiring dengan kematianku. Persetan sengan cinta, aku tak percaya lagi dengan cinta karena banyak yang meninggalkanku. Dulu bilang cinta sementara ketika aku sakit mereka tak pernah ada disampingku.  Aku merasa tak ada harapan lagi yang akan membuatku percaya dengan cinta.
Aku hanya bisa jalan-jalan dengan bantuan kursi roda, kaki telah mati rasa dan tak bisa digerakkan. Aku hanya menyadari satu, aku masih hidup karena fikiranku yang bisa menembus perjalanan jauh hinga bisa mengelilingi dunia. Ku hanya bisa mengerti beban yang terberat ketika harus berfikir apa maksud dengan tulisan itu. Mungkin bagi orang lain biasa saja namun bagiku ada maksud dari pertanyaan itu.
Aku berfikitr keras siapa yang mengirimkanku sebuah pertanyaan itu mengapa ia mengetahui perasaanku, hendak permainan apa yang ingin ia buat dengan pertanyaan tentang cinta, sementara aku telah kehilangan kepercayaan akan cinta. Mungkin saja bagiku ia sekedar tanya. Tapi mengapa? Ia harus bertanya kepadaku?.
Aku lelah memikirkannya, aku hanya ingin tidur saja, meski aku ingin menikmati hidup sebelum aku memejamkan mata untuk selamanya. Namun rasa ngantukku tak bisa kuhindari, mungkin karena semalaman aku masih belum tidur, bagi orang aku tidur padahal fikiranku melayang meski mataku hanya terpejam.
“hai cinta” suara yang samar tak bisa kukenali
“siapakah engkau?” tanyaku penasaran aku kanget mengapa kakiku seakan bergerak sendiri mendekat keradio yang berada dekat dengan tempat tidurku sesaat mendengar suara dari radio yang awalnya tak bisa menyala.
“kau pasti telah membaca pertayaanku. Tak usah kau takut aku adalah cintamu, wanita yang selama ini mengagumimu. Aku datang dalam mimpimu sebagai isyarat aku bukan mencintaimu karena tubuhmu yang kaku, atau sekedar menikmati kesehatanmu.?”
“lantas apa maksud pertayaanmu?”
“jika kau tanyakan padaku, mungkin kau akan malas mengenali cintamu, bagaimana dengan hidupmu yang singkat akan bermanfaat jika kau hanya menikmati dan menjalaninya tanpa kau mengerti apa artinya perjalanan dalam hidupmu”
“aku menghitung yang tak bermanfaat, menunggu waktuku akan berakhir. Apa yang lantas aku harus nikmati jika aku mengerti akan kematianku, aku hanya akan menjalani hidup dengan menunggu esok dan esok,”
“ya, mungkin sunguh tidak mengenakkan vonis yang diberikan dokter kepadamu. Waktumu akan berjalan dengan deadline usia. Kau akan sangat hati-hati memperhitungkan semua yang ingin kau kerjakan. Lantas karena kehati-hatianmu membuatmu membuang banyak hal yang kurang bermanfaat bagimu, sementara yang kau sangkakan bermanfaat ternyata hanya impian semata yang tak bisa kau kerjakan hingga habis masa usiamu tanpa berbuat apa-apa yang akan kau tinggalkan.”
“cukuplah cinta, aku mencintaimu luangkanlah waktumu untuk mencintaiku... jika kau percaya cinta maka cintailah aku?”
“ah,” desahku kebingungan “bagaimana aku harus mencintaimu? sedangkan aku tak mengenalmu dan tak pernah melihatmu”
“kau percaya aku ini ada?”
“mungkin, karena aku tak pernah melihatmu, aku takut kau hanya sebuah robot yang diprogram untuk menemaniku.?”
“lantas bagaimana kau akan percaya kepadaku?”
“siapakah engkau?”
“aku adalah seseorang yang mencintaimu! Cukup! Cukup itu yang engkau ketahui cintaku Mas’ud.”
Mendengar ucapannya aku malah tambah penasaran siapkah wanita itu mengapa hatiku bergejolak ingin melihatnya, apakah aku telah terperangkap kembali dalam jeratan cintanya. Ketika aku berfikir sejenak tentang suara itu yang masih terus menyapaku. Aku memejamkan mata sambil berfikir, namu ketika kubuka kembali mataku tiba-tiba aku melihat rungan dan tubuhku yang terkapar berbaring diatas kasur. Kugerakkan kakiku untuk berdiri mendekat keradio yang berada di meja, namun anehnya aku tidak dapat menggerakkannya. Baru kusadari bahwa percakapanku hanyalah sebuah mimpi saja.
aku kembali memejamkan mata, dengan harapan aku bisa menikmati sisa hidupku dialam mimpi, karena aku bisa lebih bebas menikmati hidup dan bejalan-jalan tanpa terbebani penyakitku. Kini aku merasa lebih tenang didalam mimpi, andai aku boleh memilih aku ingin tidur saja dan terus bermimpi. Setelah kucoba untuk tidur kembali namun susah untuk aku lakukan. Dokter datang menghampiriku lalu tersenyum menyapaku.
“bagaimana keadaanmu pak Mas’ud?” tanyanya sambil memeriksa detak jantungku dan aliran darahku.
“baik-baik saja dok?”
“tetaplah seperti itu kita tinggal menunggu keajaiban Tuhan saja, semoga engkau bisa sembuh”
“amin, dok”
“ya sudah kamu istirahat saja dulu pak”
“baik dok.”
Dok Sutrisnopun pergi meninggalkanku, usai memeriksa keadaanku sambil berbincang-bincang dengan suster yang ikut masuk kekamar pasien. Mencatat segala apa yang diberitahukan oleh dokter.
Tak lama kemudian, suster yang bersama dengan dokter Sutrisno datang lalu memberiku obat, dengan perlahan ia meminumkan obat kepadaku, lalu akupun tersenyum kepadanya. Tak lama kemudian aku merasa, mataku mulai ngantuk  dan tiba-tiba saat aku memejamkan mata lalu kembali terbuka kelopak mataku, terdengar kembali suara dari radio.
“bagaimana kabarmu cinta?. Bukankah esok adalah hari dimana para dokter mengatakan Akhir hidupmu?”
Aku mendekat duduk didepan radio itu lalu kemudian, aku pelan-pelan bertanya kepadanya dengan suara yang lembut seakan berbisik.
“jika aku mati, apakah aku masih bisa ngobrol denganmu?”
“itu tergantung, tergantung engkau!”
Aku kaget mendengar jawabannya, apakah yang dimaksud seoran perempuan itu. Aku terdiam memikirkannya sampai aku merasa bingung sendiri.
“apa yang kau maksud dengan tergantung aku”
“apakah kau mencintaiku?”
Aku tambah bingun mendengar pertanyaannya, siapakah wanita itu, mungkinkah memang sesuatu yang mengerti akan aku. Namun inilah sebuah mimpi dan aku meminta untuk hidup dialam mimpi ini, maka aku harus menjalaninya.
“bagaimana aku akan mencintaimu?”
“kau masih ragu akan diriku. berarti engkau tak mencintaiku!”
“ah, bagaimana aku akan mencintaimu?. Aku tak pernah melihatmu sekalipun, namamupun aku tak tahu.”
“cukuplah kau merasakannya.”
“merasakan apa?”
“apakah aku ada dalam hidupmu, atau aku sekedar suara yang bagimu itu adalah imajinasi.”
“aku semakin bingung, ya mumgkin memang kau ada”
“jika memang aku ada maka rasakanlah aku ada dengan kenyakinanmu, apakah engkau yakin akan diriku ada.”
“bagaimana caranya?”
“kau sudah tau aku, maka cintailah aku. Apakah engkau tak merasakan sesuatu?, apakah kau tak menyadarinya.?”
“ya, terkadang aku merindukanmu! Meski aku tak tahu tentangmu tapi aku merasa kamu ada, dan entah mengapa aku merindukanmu.”
“ya, itulah cinta yang kita buat dengan perasaan”
“tapi, bolehkah aku meminta sesuatu kepadamu,”
“Apa yang kau minta?”
“aku meminta supaya kau tampakkan dirimu.” Pintaku sedikit memaksa.
“jarak kita terlalu jauh.”
“kalau begitu kirimkanlah aku fotomu.”
“aku takut, kau mendewakan sebuah foto dan berimajinasi tetang foto yang aku kirimkan, aku taku jika ia tak sesuai dengan wajahku. Maka bukanlah aku yang akan kau cintai, hanya imajinasimu saja yang akan kau cintai. Namun bukan diriku!”
“lantas jika kita saling mencintai, bagaimana kita akan mencintai.?”
“yakinlah, aku melihatmu meski dalam imajinasimu dan aku melihatmu karena memang mungkin kita pernah bertemu namun tak berjumpa”
“bagiamana, orang yang berjumpa tapi tak melihat?”
“ kau pernah bersalipan dengan seseorang, dan saling memejamkan mata. Apakah engkau berjumpa namun kau tak melihat, berhadapan namun sama-sama tidak bisa melihat. Maka yakinlah aku pernah melihatmu meski kau belum.”
“lantas bagaimana aku harus mencintaimu.”
“kau yakin aku ada dengan aku melihatmu. Maka yakin saja aku ada untuk mencintaimu. yakin, yakin, dan yakin meski kenyataanya kau tak bersamaku.”
Aku terbangun dari mimpiku, yang ku ingat selalu hanyalah kata yakin. semenjak itu aku selalu berharap untuk bisa berjumpa dengannya. Aku masih ingin hidup lalu tak mengingat lagi ucapan dokter yang sudah menvonis aku akan mati. Waktu terus berlalu hingga beberapa tahu setelah aku divonis, ternyata aku bisa menggerakkan kakiku lalu hidup lebih lama dari pada apa yang dikatakan dokter tentang usiaku. Semenjak itulah muncul kenyakinanku yang kudapat lewat mimpi, dan cintaku pada keyakinan bahwa manusia hanya bisa mengira-ngira namun Tuhan yang menentukan kematian ini.

No comments:

Post a Comment