Tuesday, August 25, 2015

Sebatang Rokok dan Secangkir Kopi

Karya: Sahril bin Abdul Basith & M. Rizal Lutfi

…....hanya ada dua sebab, Tuhan tertarik dengan hidupmu,
atau Tuhan murka kepadamu…..

            Sore hari warna memerah kembali membungkus langit yang awalnya terlihat biru, dicekam menuju kegelapan. Matahari ayutemayun di  arah timur bersama dengan angin yang berhembus menyentuh ranting-ranting pohon yang mengayum bagaikan tangan melambai-lambai. Ditarik warna langit hitam gelap.
            “mendekatlah ada yang ingin aku ceritakan” kupandangi Darto sambil kulambaikan tangan tersenyum ketika ia menoleh kearahku.
            “apakah yang ingin kau ceritakan wahai Sahabatku Mulyadi?” Tanya Darto dengan penasaran.
            “ya, aku ingin bercerita kepadamu tentang sesuatu, mungkin bisa mengobati rasa kesedihanku dan beban pikiranku ini.”
            “lekaslah ceritakan!”
            “sabarlah dulu, pesanlah kopi terlebih dahulu lalu duduk disampingku, dengarkanlah ceritaku.”
            Usai memesan kopi lalu Darto kembali kearahku, kutatap ia dengan senyum namun pikiranku masih bingun dan pasrah hendak kata apa yang akan keluar dari bibirku.
            “katakanlah! Apa yang ingin kau ceritakan” ujar kembali Darto dengan nada yang memaksa.
            “baiklah! Akan aku ceritakan. Tapi mungkin akan membosankan bagimu mendengarkannya. Karena ini bukan cerita para tokoh yang punya pengalaman hidup yang berarti.”
            “aaahhh” desah Darto “kau terlalu banyak basa-basi bagaimana orang akan mendengarkanmu!” tambahnya dengan rasa penasaran.
            “Nikmatilah dulu kopimu, lalu bakarlah rokokmu, karena kisah ini seperti kematian sebatang rokok yang hidup diantara pahit manisnya kopi”
            “lekaslah ceritakan, kau ini telah membuatku penasaran saja!”
            “tak usah mendesakku demikian, aku akan cerita tentang pahitnya perjuangan dan nikmatnya hidup ketika masih ada harapan”
            “baiklah aku akan mendengarkanmu” ujar Darto lalu duduk sambil menatapku tenang.
            “kau pernah merasakan tersenyum diatas penderitaanmu sendiri? Terus mulai berfikir yang tak rasional karena ini bukan alam magis atau bukan alam yang kita atur semau kita”
            “ya, mungkin aku pernah”
            “kau mengerti akan sebatang rokok yang pasrah jadi abu dan kau tersenyum menikmatinya?. Bigitulah hidup yang pahit namun mengasikkan seperti memimun sebuah kopi yang memunculkan imajinasi. Kata temanku kopi itu Ketika Otak Perlu Inspirasi.”
            “maka dengarkan baik-baik seperti saat kau menikmati kopi yang kau minum itu” ujarku memandangnya dengan senyum yang tak ingin menegangkan suasana.
            “Sebatang rokok dari kehidupan mahasiswa, ketika dalam prosesnya ia buntuh dan tak tahu arah kemana ia akan mencari jalan”
            “memangnya ada apa dengannya? jalan apakah yang ia tujuh?”
            “jalan ketika dimana kau dan aku saat ini menikmati rokok, padahal jelas-jelas kau tahu mengandung racun tapi kau nikmati hanya dengan sebatas ingin merasakan nikmat”
            “Nikmat apakah itu yang kau maksud?, sungguh bahasamu membingunkanku”
“nikmat dimana kau tahu akan arti pahit dan manisnya kopi yang mendekatkan kita untuk bisa hidup lebih lama dimalam hari.”
“lantas apa hubungannya dengan seseorang yang hendak kau ceritakan wahai sahabatku? Janganlah kau buat aku semakin bingung?”
“jika aku tak tahu caranya bagaimana membuatmu bisa menikmati ceritaku, maka biarlah engkau bingung dan bertanya-tanya hingga aku dapat menyampaikan pesan ceritaku. Namun jika itupun kau bisa mengerti cerita yang membingunkan seperti hidup seorang mahasiswa yang hendak kuceritakan padamu.”
“mungkinkah satu kata bagi kehidupannya?, masa dimana ketika ia merasa masa depannya belum jelas”
“ya bisa dikatakan demikian!. Namun tidakkah kau ingin mengerti apa yang sebenarnya, ia kusebut sebagai sebatang rokok yang rela mati mejadi abu” jawabku dengan tenang sambil kembali berfikir apa yang hendak kuceritakan lalu kuhisap sebatang rokokku.
Aku tersenyum melihat wajah Darto yang seakan kebingungan, aku tersenyum ditengah penderitaanku. Sambil tertawa kecil melihat wajah Darto yang semakin penasaran.
“ya, lanjutkanlah ceritamu sahabatku” ujarnya penuh semangat.
“seorang yang sedang kuceritakan adalah hidup seorang mahasiswa yang kini dirundung kemalangan dan musibah.”
“musibah apakah itu? Mungkinkah, ujian atau  azab?”
“aku juga tidak tahu! Mungkin saja dua-duanya”
“ah… bagaimana bisa itu dua-duanya”
“jika ia tak dapat mengambil hikmah dan menjadikannya sebuah jalan untuk membenci harapan. Apakah itu ia kalah dalam ujian sehingga menjadi sebuah azab untuk tidak menjalani hidup lagi karena terlalu takut merasakan pahitnya kopi.” Ujarku dengan serius “Ia tidak suka di uji lalu ia melalaikan hidupnya menjadi abu karena tidak tahu arti ujian dan menjadikannya murka pada harapan.” Tambahku dengan sedikit tersenyum saat-saat aku mengerti betapa Darto tegang mendengarkanku.
“hahahhahahha. ada-ada saja kamu Mul” Darto tertawa.
“ya, anggap saja itu hanya sendagurau sehingga engkau tak terlalu tegang mendengarkanku. Aku tak mau kau bosan mendengarkan ceritaku.”
“bagaimana kisahnya dan apa yang terjadi sehingga kau ceritakan ini padaku?”
“mahasiswa itu bernama Surji.”
“ohhh, bagaimana ceritanya”
“awal-awal kuliah yang kutahu ia sangat rajin dan bahkan menjadi mahasiswa terfaorit karena kepintarannya. Namun aku tidak tahu jelas, bagaimana perasaannya ketika banyak orang yang kagum apa ia merasa tinggi hati atau biasa saja.”
“berarti banyak yang suka juga kepadanya? bukankah didunia kampus kepintaran juga menjadi modal utama untuk merebut hati perempuan?” Darto sambil tersenyum.
“kau ini To! Hanya masalah perempuan saja yang kau urusin.”
“lantas! Salahkah aku berujar demikian”
“tidak juga, tapi itu hanya menjadi nomor sekian. Akan aku lanjutkan ceritaku, maka dengarkanlah!”
Mendengar ucapakanku Darto hanya tersenyum menatapku.
“seiring berjalannya waktu, Surji semakin terprangkap dalam prosesnya, ia mementingkan proses diluar akademiknya, lalu akhirnya ia lupa akan masa dimana banyak waktu yang telah ia lewatkan”
“apakah yang ia lakukan diluar akademiknya”
“tak banyak yang bisa kuceritakan, hanya saja yang perlu kau tahu ia melakukan semuanya karena tanggung jawabnya untuk mengabdi terhadap para mahasiswa yang berproses bersama dirinya dalam sebuah organisasi. Banyak waktu yang ia buang untuk selalu siap sedia ketika ia dipanggil untuk berjuang mengabdi pula kepada masyarakat. Bahkan ia lupa membayar uang kuliah hanya untuk bisa menikmati hidupnya untuk terus berjuang dan menfasilitasi teman-temannya di organisasi.”
“lantas bukankah demikian ia telah membuat keputusan yang baik, ia mencatat namanya dalam panggung sejarah perjuangan.”
“masalahnya, ia bukanlah seorang Socrates yang rela mati meminum racun dengan tenangnya, Atau seperti pengorbanan Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat atau yang kita kenal dengan Ki Hajar Dewantara, Betapa santai dan tenangnya Tjipto ketika ia ditangkap, betapa anggun seperti biasa. Mereka telah diliputi oleh ketenangan yang terkendalikan seluruhnya. Sambil melambaikan topi helmnya yang putih Soewardi lewat. Langkah kakinya paling tegap diantara orang-orang lainnya, dan ia tersenyum.”
“terus bagaimana dengan Surji?”
“ia telah diselimuti asap kecemasan masa depan, ia berjalan tersenyum namun hatinya hancur tak berdaya oleh masalah hidupnya, ia telah jadi abu yang tak berguna.”
“memang masalah apa yang telah ia hadapi?, mengapa jiwa pengorbanannya tak dapat ia selimuti dengan ketenangan menghadapi masalahnya?” tanya Darto penasaran.
“karena pahitnya terlalu dalam menerima kenyataan, ini bukan soal masa depannya atau tentang pengorbananya. Namun ia memang sudah pasrah karena harapannya cuma satu.” Lalu aku berhenti sejenak menundukkan kepalaku sambil berfikir sejenak lalu menyeruput kopi.
“apakah harapannya?” tanya Darto yang mulai penasaran.
“ia menjadi orang berguna?”
“tidakkah ia sudah dapatkan? dengan perjuanganya yang telah ia berkorban begitu banyak?”
“namun yang menjadi soal baginya, ia tak dapat berguna bagi orang tuanya. Karena tidakkah kau mengerti? Mengerti tentang kehidupan ini. Dimana orang tua yang ingin melihat anaknya menjadi seorang sarjana, karena para tetangganya hanya dapat mengerti sebuah nilai yang tertera diatas kertas. Barulah ia dapat dikatakan orang yang berarti.”
“mungkin memang benar demikian, lagi pula orang yang tidak lulus tetap waktu maka akan di klaim bodoh oleh masyarakatnya. Pastilah ia akan menjadi cibiran yang membawa-bawa kedua orang tuanya.”
“ya memang demikian, karena seakan – akan  ijazah menjadi kado bagi tetangga kita. Namun itulah pahit manis yang harus kita nikmati, ingin sesuatu yang manis maka harus mengerti bagaimana rasa pahit.”
“iya juga sih, lantas bagaimana kemudian nasib Surji.?”
“cukuplah aku ceritakan sedemikian, karena aku belum mengerti apa yang sebenarnya menjadi persoalan dalam hidupnya, seperti tak mengerti tentang apa yang menyebabkan hidup ini berantakan, namun yang kutahu hanya ada dua sebab, Tuhan tertarik dengan hidupmu, atau Tuhan murka kepadamu. Nanti kuceritakan kembali kepadamu saat kutemukan jawaban apa yang ada dibalik kisah hidup Surji. Yang kuharapkan kau berbaktilah kepada siapapun, aturlah sedemikian waktumu. Karena engkau bertanggung jawab dalam prosesmu menuntut ilmu di organisasi dan tanggung jawabmu kepada orang tuamu. Jadikanlah kisah ini sebagai pelajaran yang berarti. Berkaryalah diluar namun jika waktu kuliah jangan kau tinggalkan. Bagi waktumu sebisa mungkin.”

            Akupun terdiam dan Darto mulai terdiam, juga saat kututup ceritaku dengan pesan pesanku, meski aku tak peduli apakah ia mengerti dengan pesanku atau tidak yang penting aku berusaha.

No comments:

Post a Comment