Karya: Sahril bin Abdul Basith & M. Rizal Lutfi
…....hanya ada dua sebab, Tuhan tertarik dengan hidupmu,
atau Tuhan murka kepadamu…..
Sore hari warna
memerah kembali membungkus langit yang awalnya terlihat biru, dicekam menuju
kegelapan. Matahari ayutemayun di
arah timur bersama dengan angin yang berhembus menyentuh ranting-ranting
pohon yang mengayum bagaikan tangan melambai-lambai. Ditarik warna
langit hitam gelap.
“mendekatlah ada
yang ingin aku ceritakan” kupandangi Darto sambil kulambaikan tangan tersenyum
ketika ia menoleh kearahku.
“apakah yang ingin
kau ceritakan wahai Sahabatku Mulyadi?” Tanya Darto dengan penasaran.
“ya, aku ingin
bercerita kepadamu tentang sesuatu, mungkin bisa mengobati rasa kesedihanku dan
beban pikiranku ini.”
“lekaslah
ceritakan!”
“sabarlah dulu,
pesanlah kopi terlebih dahulu lalu duduk disampingku, dengarkanlah ceritaku.”
Usai memesan kopi
lalu Darto kembali kearahku, kutatap ia dengan senyum namun pikiranku masih
bingun dan pasrah hendak kata apa yang akan keluar dari bibirku.
“katakanlah! Apa
yang ingin kau ceritakan” ujar kembali Darto dengan nada yang memaksa.
“baiklah! Akan aku
ceritakan. Tapi mungkin akan membosankan bagimu mendengarkannya. Karena ini
bukan cerita para tokoh yang punya pengalaman hidup yang berarti.”
“aaahhh” desah
Darto “kau terlalu banyak basa-basi bagaimana orang akan mendengarkanmu!”
tambahnya dengan rasa penasaran.
“Nikmatilah dulu
kopimu, lalu bakarlah rokokmu, karena kisah ini seperti kematian sebatang rokok
yang hidup diantara pahit manisnya kopi”
“lekaslah
ceritakan, kau ini telah membuatku penasaran saja!”
“tak usah
mendesakku demikian, aku akan cerita tentang pahitnya perjuangan dan nikmatnya
hidup ketika masih ada harapan”
“baiklah aku akan
mendengarkanmu” ujar Darto lalu duduk sambil menatapku tenang.
“kau pernah
merasakan tersenyum diatas penderitaanmu sendiri? Terus mulai berfikir yang tak
rasional karena ini bukan alam magis atau bukan alam yang kita atur semau kita”
“ya, mungkin aku
pernah”
“kau mengerti akan
sebatang rokok yang pasrah jadi abu dan kau tersenyum menikmatinya?. Bigitulah
hidup yang pahit namun mengasikkan seperti memimun sebuah kopi yang memunculkan
imajinasi. Kata temanku kopi itu Ketika Otak Perlu Inspirasi.”
“maka dengarkan
baik-baik seperti saat kau menikmati kopi yang kau minum itu” ujarku
memandangnya dengan senyum yang tak ingin menegangkan suasana.
“Sebatang rokok
dari kehidupan mahasiswa, ketika dalam prosesnya ia buntuh dan tak tahu arah
kemana ia akan mencari jalan”
“memangnya ada apa
dengannya? jalan apakah yang ia tujuh?”
“jalan ketika
dimana kau dan aku saat ini menikmati rokok, padahal jelas-jelas kau tahu
mengandung racun tapi kau nikmati hanya dengan sebatas ingin merasakan nikmat”
“Nikmat apakah itu
yang kau maksud?, sungguh bahasamu membingunkanku”
“nikmat dimana kau tahu akan arti pahit dan manisnya kopi yang
mendekatkan kita untuk bisa hidup lebih lama dimalam hari.”
“lantas apa hubungannya dengan seseorang yang hendak kau ceritakan
wahai sahabatku? Janganlah kau buat aku semakin bingung?”
“jika aku tak tahu caranya bagaimana membuatmu bisa menikmati
ceritaku, maka biarlah engkau bingung dan bertanya-tanya hingga aku dapat
menyampaikan pesan ceritaku. Namun jika itupun kau bisa mengerti cerita yang
membingunkan seperti hidup seorang mahasiswa yang hendak kuceritakan padamu.”
“mungkinkah satu kata bagi kehidupannya?, masa dimana ketika ia
merasa masa depannya belum jelas”
“ya bisa dikatakan demikian!. Namun tidakkah kau ingin mengerti apa
yang sebenarnya, ia kusebut sebagai sebatang rokok yang rela mati mejadi abu”
jawabku dengan tenang sambil kembali berfikir apa yang hendak kuceritakan lalu
kuhisap sebatang rokokku.
Aku tersenyum melihat wajah Darto yang seakan kebingungan, aku
tersenyum ditengah penderitaanku. Sambil tertawa kecil melihat wajah Darto yang
semakin penasaran.
“ya, lanjutkanlah ceritamu sahabatku” ujarnya penuh semangat.
“seorang yang sedang kuceritakan adalah hidup seorang mahasiswa
yang kini dirundung kemalangan dan musibah.”
“musibah apakah itu? Mungkinkah, ujian atau azab?”
“aku juga tidak tahu! Mungkin saja dua-duanya”
“ah… bagaimana bisa itu dua-duanya”
“jika ia tak dapat mengambil hikmah dan menjadikannya sebuah jalan
untuk membenci harapan. Apakah itu ia kalah dalam ujian sehingga menjadi sebuah
azab untuk tidak menjalani hidup lagi karena terlalu takut merasakan pahitnya
kopi.” Ujarku dengan serius “Ia tidak suka di uji lalu ia melalaikan hidupnya
menjadi abu karena tidak tahu arti ujian dan menjadikannya murka pada harapan.”
Tambahku dengan sedikit tersenyum saat-saat aku mengerti betapa Darto tegang
mendengarkanku.
“hahahhahahha. ada-ada saja kamu Mul” Darto tertawa.
“ya, anggap saja itu hanya sendagurau sehingga engkau tak terlalu
tegang mendengarkanku. Aku tak mau kau bosan mendengarkan ceritaku.”
“bagaimana kisahnya dan apa yang terjadi sehingga kau ceritakan ini
padaku?”
“mahasiswa itu bernama Surji.”
“ohhh, bagaimana ceritanya”
“awal-awal kuliah yang kutahu ia sangat rajin dan bahkan menjadi
mahasiswa terfaorit karena kepintarannya. Namun aku tidak tahu jelas, bagaimana
perasaannya ketika banyak orang yang kagum apa ia merasa tinggi hati atau biasa
saja.”
“berarti banyak yang suka juga kepadanya? bukankah didunia kampus
kepintaran juga menjadi modal utama untuk merebut hati perempuan?” Darto sambil
tersenyum.
“kau ini To! Hanya masalah perempuan saja yang kau urusin.”
“lantas! Salahkah aku berujar demikian”
“tidak juga, tapi itu hanya menjadi nomor sekian. Akan aku
lanjutkan ceritaku, maka dengarkanlah!”
Mendengar ucapakanku Darto hanya tersenyum menatapku.
“seiring berjalannya waktu, Surji semakin terprangkap dalam
prosesnya, ia mementingkan proses diluar akademiknya, lalu akhirnya ia lupa
akan masa dimana banyak waktu yang telah ia lewatkan”
“apakah yang ia lakukan diluar akademiknya”
“tak banyak yang bisa kuceritakan, hanya saja yang perlu kau tahu
ia melakukan semuanya karena tanggung jawabnya untuk mengabdi terhadap para
mahasiswa yang berproses bersama dirinya dalam sebuah organisasi. Banyak waktu
yang ia buang untuk selalu siap sedia ketika ia dipanggil untuk berjuang
mengabdi pula kepada masyarakat. Bahkan ia lupa membayar uang kuliah hanya
untuk bisa menikmati hidupnya untuk terus berjuang dan menfasilitasi
teman-temannya di organisasi.”
“lantas bukankah demikian ia telah membuat keputusan yang baik, ia
mencatat namanya dalam panggung sejarah perjuangan.”
“masalahnya, ia bukanlah seorang Socrates yang rela mati meminum
racun dengan tenangnya, Atau seperti pengorbanan Tjipto Mangoenkoesoemo dan
Soewardi Soerjaningrat atau yang kita kenal dengan Ki Hajar Dewantara, Betapa
santai dan tenangnya Tjipto ketika ia ditangkap, betapa anggun seperti biasa.
Mereka telah diliputi oleh ketenangan yang terkendalikan seluruhnya. Sambil
melambaikan topi helmnya yang putih Soewardi lewat. Langkah kakinya paling
tegap diantara orang-orang lainnya, dan ia tersenyum.”
“terus bagaimana dengan Surji?”
“ia telah diselimuti asap kecemasan masa depan, ia berjalan
tersenyum namun hatinya hancur tak berdaya oleh masalah hidupnya, ia telah jadi
abu yang tak berguna.”
“memang masalah apa yang telah ia hadapi?, mengapa jiwa
pengorbanannya tak dapat ia selimuti dengan ketenangan menghadapi masalahnya?”
tanya Darto penasaran.
“karena pahitnya terlalu dalam menerima kenyataan, ini bukan soal
masa depannya atau tentang pengorbananya. Namun ia memang sudah pasrah karena
harapannya cuma satu.” Lalu aku berhenti sejenak menundukkan kepalaku sambil
berfikir sejenak lalu menyeruput kopi.
“apakah harapannya?” tanya Darto yang mulai penasaran.
“ia menjadi orang berguna?”
“tidakkah ia sudah dapatkan? dengan perjuanganya yang telah ia
berkorban begitu banyak?”
“namun yang menjadi soal baginya, ia tak dapat berguna bagi orang
tuanya. Karena tidakkah kau mengerti? Mengerti tentang kehidupan ini. Dimana orang
tua yang ingin melihat anaknya menjadi seorang sarjana, karena para tetangganya
hanya dapat mengerti sebuah nilai yang tertera diatas kertas. Barulah ia dapat
dikatakan orang yang berarti.”
“mungkin memang benar demikian, lagi pula orang yang tidak lulus
tetap waktu maka akan di klaim bodoh oleh masyarakatnya. Pastilah ia akan
menjadi cibiran yang membawa-bawa kedua orang tuanya.”
“ya memang demikian, karena seakan – akan ijazah menjadi kado bagi tetangga kita. Namun
itulah pahit manis yang harus kita nikmati, ingin sesuatu yang manis maka harus
mengerti bagaimana rasa pahit.”
“iya juga sih, lantas bagaimana kemudian nasib Surji.?”
“cukuplah aku ceritakan sedemikian, karena aku belum mengerti apa
yang sebenarnya menjadi persoalan dalam hidupnya, seperti tak mengerti tentang
apa yang menyebabkan hidup ini berantakan, namun yang kutahu hanya ada dua
sebab, Tuhan tertarik dengan hidupmu, atau Tuhan murka kepadamu. Nanti
kuceritakan kembali kepadamu saat kutemukan jawaban apa yang ada dibalik kisah
hidup Surji. Yang kuharapkan kau berbaktilah kepada siapapun, aturlah
sedemikian waktumu. Karena engkau bertanggung jawab dalam prosesmu menuntut
ilmu di organisasi dan tanggung jawabmu kepada orang tuamu. Jadikanlah kisah
ini sebagai pelajaran yang berarti. Berkaryalah diluar namun jika waktu kuliah
jangan kau tinggalkan. Bagi waktumu sebisa mungkin.”
Akupun terdiam dan
Darto mulai terdiam, juga saat kututup ceritaku dengan pesan pesanku, meski aku
tak peduli apakah ia mengerti dengan pesanku atau tidak yang penting aku
berusaha.
No comments:
Post a Comment