Yang menantang Manusia dan
kemudian menuntut jawaban terhadap
Tantangan itu dan jawaban terhadap
tantangan membawa Manusia
Kepada Dedaksi yang utuh. Bahwa Pengetahuan adalah Keterlibatan”[1]
Pendidikan hadir di
tengah-tengah masyarakat memiliki banyak fungsi yang tidak hanya untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa an sich, tetapi
juga berfungsi pencerdasan diri, sosial, Negara bangsa, bahkan dunia. Lebih
khusus di Indonesia , fungsi pendidikan sedikit disinggung pada bab II pasal 3
dalam UU Sisdiknas 2003, bahwa fungsi pendidikan adalah Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.[2]
Maka dari sudut pandang diatas fungsi pendidikan diatas dapat dipandang dari 2 perspektif. Pertama, secara mikro (sempit), pendidikan berfunsi untuk membantu
(secara sadar) perkembangan jasmani dan rohani peserta didik. Kedua, secara makro (luas), pendidikan
berfungsi sebagai pengembangan pribadi, pengembangan warga Negara, pengembangan
kebudayaan dan pengembangan bangsa.
Lantaran
bagaimana pendidikan sudahkah menjalankan fungsi dari 2 perspektif yang sudah di sebutkan diatas, lantaran bagaimanakah
metode pendidikan di perguruan tinggi, apakah membantu secara pengembangan
pribadi serta pengembangan kebudayaan.?
Pendidikan
saat ini pada umumnya masih menganggap system yang sangat mapan selama ini
dapat diandaikan sebagai sebuah “bank” dimana
seorang anak didik diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi,
sabagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan
dipetik hasilnya kelak, dan pendidikan disekolah masih berlangsung praktek dehumanisasi[3].yang
mana sekolah terasing dari kehidupan nyata, dan pola hubungan guru dan murid
bersifat otoriter, atas-bawah,
subjek-objek. Sehingga, disekolah kurang berlangsung perkembangan individu
secara optimal, kebebasan individu siswa terbelenggu oleh guru dan institusi
pendidikan. Hal ini yang menyebabkan kecaman radikan Ivan Illich, sebagaimana
dituangkan dalam magnum opusnya Deschooling Sosiety ( Masyarakat Bebas
Sekolah). Dalam karya tersebut Ivan Illich secara terang-terangan mengutuk lembaga
sekolah dikarenakan sekolah-sekolah dengan sendirinya tidak akan memadai, dan
hanya akan mengasingkan siswa dari diri hidup dan realitas sosiokultur
masyarakat.
Pendidikan
masih dinilai anti dialogis[4]
dimana anti dialogis ini ditandai dengan Usaha menguasai manusia tunduk, pasif,
menyesuikan diri dengan keadaan, sehingga dalam system pendidikan murid
dianggap sebagai subjek. Sedangkan
pendidikan diperguruan tinggi pada umumnya masih menggunakan metode ekpositori
dimana dosen memberikan perkuliahan secara transfer ilmu, memberikan contoh dan
beberapa latihan dalam bentuk kuis maupun tugas. Pembelajaran masih dipandang
sebagai sarana pemindahan ilmu yang dimiliki dosen kemahasiswa, bukan sebagai
sarana pengembangan kompetensi mahasiswa melalui pencarian ilmu secara mandiri
ataupun terbimbing.[5]
Hal ini mengapa banyak kaum behavioris[6] sepakat dengan system pendidikan yang
ditanamkan dalam pendidikan saat ini, karena para kaum behavoris sepakat bahwa
dalam dunia pendidikan adalah sebuah Rekayasa yang terbimbing.
Berfikir Kritis sebagai tradisi
Pendidikan
Setiap waktu dalam prosesnya,
pendidikan merangsang kearah diambilnya suatu tindakan, kemudian tindakan
tersebut direfleksikan kembali, dan dari refleksi tersebut diambil sebuah
tindakan baru yang lebih baik. Demikian seterusnya, sehingga proses pendidikan
merupakan suatu daur tindakan dan berfikir yang langsung terus menerus
sepanjang hidup seseorang. Pada saat
bertindak dan berfikir itulah, seseorang menyatakan hasil tindakan dan buah
pikirannya melalui kata-kata. Dengan daur seperti ini, setiap anak didik secara
langsung dilibatkan dalam permasalahan-permasalahan realitas dunia dan keberadaan diri mereka didalamnya.
Berfikir merupakan sebuah proses
yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan
masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan melakukan
penelitian ilmiah.
Berfikir kritis adalah kemampuan
untuk berpendapat dengan cara terorganisir. Berfikir kritis merupakan kemampuan
untuk mengevaluasi secara sistematis bobot pendapat pribadi dan pendapat orang
lain. Berfikir kritis adalah kemampuan untuk mengatakan sesuatu dengan penuh
percaya diri. Dengan demikian kemampuan dalam berfikir kritis memungkinkan
mahasiswa untuk merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan pendapat mereka
sendiri. Dan pengertian lain juga berfikir kritis juga bisa diartikan sebagai
kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi, agar mampu memecahkan masalah
dengan baik. Sehingga dalam berfikiran kritis dituntut kemampuan analisis,
sintetis, evaluasi, generalisasi[7],
membandingkan, dan mengambil keputusan.
Maka dalam pembelajaran yang kritis
adalah melatih keterampilan berfikir
mahasiswa dan bukan pada mata kuliah.[8]
Dalam pembelajaran membuat mahasiswa berfikir secara langsung akan menghasilkan
mahasiswa yang bisa setiap waktu mengembangkan potensinya dan menganalisis
setiap perkembangan sosialnya, serta mengembangkan Peradaban bangsanya untuk
memajukan bangsanya. Dengan menganalisis setiap permasalahan bangsanya,
kemudian mencari solusi yang tepat untuk permasalahan yang sedang dialami
bangsanya. (Sahril)
Bila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibumkam, kritik dilarang
tanpa Alasan
Dituduh SUBVERSIF dan menggangu
keamanan
Maka hanya satu kata
LAWAN..!!!!
[1]
Paulo Fraire
[2]
Lebih lengkap lihat dalam artikel Nurkolis pada http://artikel.us/nurkolis5.html
[3]
Tidak selaras dengan asas kemanusiaan Kamus Ilmiah Populer. Pustaka Agung
Harapan. Hal. 89
[4]
Hal ini bertentangan dengan dialogis ( sifat yang selalu kooperatif)
[5]
Menurut Yuli Ifana Sari, SPd. Modul
Mapaba I PMII Rayon Ki Hajar Dewantara. Hal. 50
[6]
Penganut ajaran behavorisme kaum ini memiliki keyakinan bahwa masa depan
sekolah hal ihwal yang berkenan dengan rekayasa pengubahan tingkah laku.
Sekolah hendaknya dirancang seperti halnya para insinyur yang bekerja merancang
sebuah mesin yang canggih. Sekolah sebagai lembaga tempat berlangsungnya proses
rekayasa perubahan tingkah laku harus didasarkan pada kurikulum yang dirancang
secara ilmiah, dan bentuk-bentuk kegiatannya harus diorganisasikan dengan penuh
perhatian dan dilaksanakan dengan penuh disiplin. (hal ini masuk kepada ketiga
prisip yang mendasari sekolah dalam meyelenggarakan proses rekayasa pengubahan
tingkahlaku.) Mahfud, Choiril. 2010. Pendidikan
Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 41
[7] Kemampuan
berfikir untuk mendapatkan pendapat
secara menyeluruh. (mencari kesimpulan)
[8] Ibid.
No comments:
Post a Comment