Saturday, December 28, 2013

Berfikir Kritis Alur Utama Dalam Pendidikan

Pendidikan hadap Masalah, senantiasa membuka rahasia Realitas
Yang menantang Manusia dan kemudian menuntut jawaban terhadap
Tantangan itu dan jawaban terhadap tantangan membawa Manusia
Kepada Dedaksi yang utuh. Bahwa Pengetahuan adalah Keterlibatan”[1]


Pendidikan hadir di tengah-tengah masyarakat memiliki banyak fungsi yang tidak hanya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa an sich, tetapi juga berfungsi pencerdasan diri, sosial, Negara bangsa, bahkan dunia. Lebih khusus di Indonesia , fungsi pendidikan sedikit disinggung pada bab II pasal 3 dalam UU Sisdiknas 2003, bahwa fungsi pendidikan adalah Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.[2] Maka dari sudut pandang diatas fungsi pendidikan diatas dapat dipandang dari 2 perspektif. Pertama, secara mikro (sempit), pendidikan berfunsi untuk membantu (secara sadar) perkembangan jasmani dan rohani peserta didik. Kedua, secara makro (luas), pendidikan berfungsi sebagai pengembangan pribadi, pengembangan warga Negara, pengembangan kebudayaan dan pengembangan bangsa.
Lantaran bagaimana pendidikan sudahkah menjalankan fungsi dari 2 perspektif yang sudah di sebutkan diatas, lantaran bagaimanakah metode pendidikan di perguruan tinggi, apakah membantu secara pengembangan pribadi serta pengembangan kebudayaan.?
Pendidikan saat ini pada umumnya masih menganggap system yang sangat mapan selama ini dapat diandaikan sebagai sebuah “bank” dimana  seorang anak didik diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi, sabagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya kelak, dan pendidikan disekolah masih berlangsung praktek dehumanisasi[3].yang mana sekolah terasing dari kehidupan nyata, dan pola hubungan guru dan murid bersifat otoriter, atas-bawah, subjek-objek. Sehingga, disekolah kurang berlangsung perkembangan individu secara optimal, kebebasan individu siswa terbelenggu oleh guru dan institusi pendidikan. Hal ini yang menyebabkan kecaman radikan Ivan Illich, sebagaimana dituangkan dalam magnum opusnya Deschooling Sosiety ( Masyarakat Bebas Sekolah). Dalam karya tersebut Ivan Illich secara terang-terangan mengutuk lembaga sekolah dikarenakan sekolah-sekolah dengan sendirinya tidak akan memadai, dan hanya akan mengasingkan siswa dari diri hidup dan realitas sosiokultur masyarakat.
Pendidikan masih dinilai anti dialogis[4] dimana anti dialogis ini ditandai dengan Usaha menguasai manusia tunduk, pasif, menyesuikan diri dengan keadaan, sehingga dalam system pendidikan murid dianggap sebagai subjek. Sedangkan pendidikan diperguruan tinggi pada umumnya masih menggunakan metode ekpositori dimana dosen memberikan perkuliahan secara transfer ilmu, memberikan contoh dan beberapa latihan dalam bentuk kuis maupun tugas. Pembelajaran masih dipandang sebagai sarana pemindahan ilmu yang dimiliki dosen kemahasiswa, bukan sebagai sarana pengembangan kompetensi mahasiswa melalui pencarian ilmu secara mandiri ataupun terbimbing.[5] Hal ini mengapa banyak kaum behavioris[6] sepakat dengan system pendidikan yang ditanamkan dalam pendidikan saat ini, karena para kaum behavoris sepakat bahwa dalam dunia pendidikan adalah sebuah Rekayasa yang terbimbing.

Berfikir Kritis sebagai tradisi Pendidikan
            Setiap waktu dalam prosesnya, pendidikan merangsang kearah diambilnya suatu tindakan, kemudian tindakan tersebut direfleksikan kembali, dan dari refleksi tersebut diambil sebuah tindakan baru yang lebih baik. Demikian seterusnya, sehingga proses pendidikan merupakan suatu daur tindakan dan berfikir yang langsung terus menerus sepanjang hidup seseorang.  Pada saat bertindak dan berfikir itulah, seseorang menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya melalui kata-kata. Dengan daur seperti ini, setiap anak didik secara langsung dilibatkan dalam permasalahan-permasalahan realitas dunia dan keberadaan diri mereka didalamnya.
            Berfikir merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah.
            Berfikir kritis adalah kemampuan untuk berpendapat dengan cara terorganisir. Berfikir kritis merupakan kemampuan untuk mengevaluasi secara sistematis bobot pendapat pribadi dan pendapat orang lain. Berfikir kritis adalah kemampuan untuk mengatakan sesuatu dengan penuh percaya diri. Dengan demikian kemampuan dalam berfikir kritis memungkinkan mahasiswa untuk merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan pendapat mereka sendiri. Dan pengertian lain juga berfikir kritis juga bisa diartikan sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi, agar mampu memecahkan masalah dengan baik. Sehingga dalam berfikiran kritis dituntut kemampuan analisis, sintetis, evaluasi, generalisasi[7], membandingkan, dan mengambil keputusan.
            Maka dalam pembelajaran yang kritis adalah melatih keterampilan berfikir mahasiswa dan bukan pada mata kuliah.[8] Dalam pembelajaran membuat mahasiswa berfikir secara langsung akan menghasilkan mahasiswa yang bisa setiap waktu mengembangkan potensinya dan menganalisis setiap perkembangan sosialnya, serta mengembangkan Peradaban bangsanya untuk memajukan bangsanya. Dengan menganalisis setiap permasalahan bangsanya, kemudian mencari solusi yang tepat untuk permasalahan yang sedang dialami bangsanya. (Sahril)

Bila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibumkam, kritik dilarang tanpa Alasan
Dituduh SUBVERSIF dan menggangu keamanan
Maka hanya satu kata
LAWAN..!!!!



[1] Paulo Fraire
[2] Lebih lengkap lihat dalam artikel Nurkolis pada http://artikel.us/nurkolis5.html
[3] Tidak selaras dengan asas kemanusiaan Kamus Ilmiah Populer. Pustaka Agung Harapan. Hal. 89
[4] Hal ini bertentangan dengan dialogis ( sifat yang selalu kooperatif)
[5] Menurut Yuli Ifana Sari, SPd. Modul Mapaba I PMII Rayon Ki Hajar Dewantara. Hal. 50
[6] Penganut ajaran behavorisme kaum ini memiliki keyakinan bahwa masa depan sekolah hal ihwal yang berkenan dengan rekayasa pengubahan tingkah laku. Sekolah hendaknya dirancang seperti halnya para insinyur yang bekerja merancang sebuah mesin yang canggih. Sekolah sebagai lembaga tempat berlangsungnya proses rekayasa perubahan tingkah laku harus didasarkan pada kurikulum yang dirancang secara ilmiah, dan bentuk-bentuk kegiatannya harus diorganisasikan dengan penuh perhatian dan dilaksanakan dengan penuh disiplin. (hal ini masuk kepada ketiga prisip yang mendasari sekolah dalam meyelenggarakan proses rekayasa pengubahan tingkahlaku.) Mahfud, Choiril. 2010. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 41
[7] Kemampuan berfikir untuk mendapatkan  pendapat secara menyeluruh. (mencari kesimpulan)
[8] Ibid.

No comments:

Post a Comment