Diawal tulisan ini saya ingin
menceritakan sebuah peristiwa di Universitas Toronto, pada tahun 1968
universitas tersebut membagi-bagi ijazah kesarjanaanya kepada para mahasiswanya
yang telah lulus dalam suatu upacara wisuda yang sangat meriah dan
mengesankan. Pada saat itu, seorang
sarjana yang lulus ujian dengan predikat cumlaude
tampil kedepan dan menerima ijaazahnya, akan tetapi ia lantas merobek-robek
ijazahnya yang diterimanya itu dimuka hadirin sambil mengomel dan mengumpat ”Tuan-tuan
yang hadir, saya merasa percuma
telah mendapatkan pelajaran di dalam Universitas. Ijazah ini bagi saya tidak
ada hargaya sepersenpun”.
Ketika ditanya mengapa ia berbuat
demikian, ia pun menjawab “ sebab selama saya belajar di Universitas ini,
banyak yang saya pelajari, akan tetapi tidak satupun dalam pelajaran itu
memberikan jawaban kepada beberapa pertanyaan yang membenak dalam hatiku, tidak
terjawab oleh ilmu pengetahuan yang saya terima”. Selanjutnya sang sarja yang
lulus cumlaude itupun mengumpat lagi “generasi kami mempuyai bermacam-macam
problem. Problem-problem yang merangsang jiwa kami setiap hari, tidak terjawab.
Yang di ajarkan hanyalah ilmu. Ilmu dan pengetahuan. Otak kami diisi, jiwa kami
tetap kosong” (Lihat di Faisal Ismail, Percikan pemikiran islam)
Rektor Universitas Gadjah Mada
Prof. Dr.Sukaji Ranuwiharjo, dalam upacara wisuda sarjana baru di Art Center
Bulak sumur, menyatakan bahwa ijazah bukanlah garis akhir studi perjuangan
hidup. Melainkan garis permulaan dari babak baru dalam perjuangan yang semakin
meluas. Selanjutnya Prof. Sukaji mengatakan bahwa seorang sarjana harus
bersedia belajar selama hidup. Karena pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi
mengharuskan mereka belajar terus agar tidak ketinggalan jaman. Disamping itu
seorang sarjana harus dapat berdiri secara pribadi, tanpa bergantung kepada
siapapun juga. Memiliki disiplin yang teratur, bersifat terbuka. Berani mengambil
kesimpulan sebagai sikap pribadi terhadap berbagai masaalah, serta bersedia
mempertanggung jawabkannya. Dengan begitu, jelas mereka bukan sarjana pembeo
dan sarjana pembebek (Kompas, 10 Mei 1975 dlm Faisal Ismail)
Lantas bagaiman untuk tidak lagi
ada sarjana pembeo dan pembebek, maka sistem dan program pendidikan di PT yang
mempersiapkan (calon) sarjana harus berorientasi pada pengembangan kreativitas,
serta intelektualitas dan kecakapan teknis disamping itu segi-segi pendidikan
spiritual tetap diberikan untuk pembinaan budi pekerti, watak dan kepribadian. Jangan
memaknai sebuah pendidikan hanya sebatas kegiatan manusia untuk mewariskan harta kebudayaan dari
generasi terdahulu kepada generasi penggantinya yang hanya bersifat “Resensif”,
pasif menerima begitu saja. Tetapi pendidikan dan pegajaran adalah berusaha melatih
anak didik untuk lebih bersifat “drektif”, untuk mendorong mereka untuk selalu
berusaha maju, kreatif dan berjiwa membangun.
Lantas pendidikan di PT Seperti
apa? Yuli Ifana Sari menyatakan Sedangkan pendidikan diperguruan tinggi pada
umumnya masih menggunakan metode ekpositori dimana dosen memberikan perkuliahan
secara transfer ilmu, memberikan contoh dan beberapa latihan dalam bentuk kuis
maupun tugas. Pembelajaran masih dipandang sebagai sarana pemindahan ilmu yang
dimiliki dosen kemahasiswa, bukan sebagai sarana pengembangan kompetensi
mahasiswa melalui pencarian ilmu secara mandiri ataupun terbimbing. (Modul Mapaba I PMII Rayon Ki Hajar
Dewantara. Hal. 50).
Apakah sarjana itu masih pembeo
dan pembebek, Bagaimana seharusnya pendidikan di Universitas? Menurut Prof.
Mukti Ali Lebih daripada mengajarkan hal-hal baru, maka universitas harus
memberikan dan mengajarkan hal-hal berikut:
1.
Prisnsip-prinsip perubahan masnyarakat, yang
dapat dipergunakan oleh mahasiswa sebagai kunci untuk memahami
perubahan-perubahan yang akan terjadi
kemudian. Mahasiswa dipersiapkan untuk dapat menjawab persoalan-persoalan yang mungkin
timbul 30 atau 40 tahun yang akan datang, karena mereka akan menghadapi
masalah-masalah yang lain sama sekali daripada yang dihadapi sekarang.
2.
Menimbulkan berfikir secara kritis, ruhul
intiqazh, critischeiin, dikalangan mahasiswa, karena mendidik adalah usaha
untuk mengatarkan orang supaya ia dapat memperkembangkan bakaatnya yang
terpendam.
3.
Menimbulkan optimisme dikalangan mahasiswa
dengan menyadarkan bahwa ia adalah orang yang cakap dan mempuyai hari depan
yang baik, yang karena itu timbullah kegairahan untuk memecahkan
persoalan-persoalan yang pelik yang dihadapi.
4.
Mengajarkan method of approach, sehingga
mahasiswa dapat menghadapi masalah-masalah masyarakat yang setiap kali
mengalami perubahan.
5.
Menanamkan disiplin intelektual, berfikir secara
konsisten, dengan integritas pribadi,
sehingga dengan demikian sanggup menghadapi masalah-maslah yang lebih banyak
yang harus mereka hadapi di tengah-tengah masyarakat apabila mereka nanti sudah
meninggalkan bangku kuliah.
6.
Mengantarkan mahasiswa supaya mencintai buku. Buku
adalah sahabat yang tak pernah dusta. Dengan penguasaan sistem ilmu yang di
ajarkan dengan cara pendekatannya, ditambah dengan penguasaan bahasa, maka
dunia ilmu pengetahuan akan terbuka lebar bagi mahasiswa.
Bagaimana peranan
Universitas dalam pembaangunan? Sedikit mengutip M. Amir Zain yang menyatakan bahwa
pendidikan bereriontasi kepada proses pembudayaan dan pembentukaan
pradaban. Faisal ismail dalam hal
peranan universitas terhadap pembangunaan juga mengungkapkan di harian “Masa
kini” 23 desember 1975 bahwa peranan universitas dalam era pembangunan adalah
sangat besar. Kita dapat menyaksikan hal ini dinegara-negara yang telah maju
dibidang ilmu dan teknologi ataupun dinegara-negara yang sedang membangun.
Namun
bagaimana sekarang diPT, apakah bisa membagun, jika prosesnya seperti apa yang
telah dikatakan oleh Yuli Ifana Sari. Dan sarjana-sarjana yang telah banyak
jadi pengangguran dan yang bekerja tanpa memahami keterlibatan pembangunan
bangsa ini apakah karena sistem dan program PT yang menjadikan mereka sebagai sarjana-sarjana
pembeo dan pembebek. Maka pendidikan Di PT perlu meninjau kembali pendapat Prof.
Mukti Ali.
No comments:
Post a Comment