![]() |
Add caption |
“manusia yang berjalan, manusia yang terhenti,
manusia yang meraskan, maka manusia yang akan mengendalikan semuanya, manusia
yang harus menulis semuanya, karena manusia adalah kisah, dan kisah adalah
manusia.”
(Sahril. B.S)
kusam dari wajah
yang gersam, dari dunia-dunia yang membias, beberapa manusia yang mulai
berdiaspora, beberapa manusia yang mulai antri, dan beberapa .manusia yang
melakuakan aktivitas akademik. Terik matahari tak mampu untuk menjawabnya,
terik matahri semakin menyengat kulit bumi, karena bukan hanya cahayanya yang
menyentuh bumi, akan tetapi air matanya yang menetes di bumi, air mata yang
panas dari bola yang panas.
Pagi-pagi yang cerah suara-suara
mesin, motor yang berjalan laju kencang, manusia terkendalikan menuju beberapa
arah secara kolektif, menuju suatu yang menghilangkan kemandiriannya.
“pagi, vino, lagi ngapain nich.”
Sambil tersenyum
“nich lagi ngerjakanan tugas lik,
kamu sudah selesai tah lik, ngerjakan tugasnya.” Menundukkan badan tak mau
menatap elik.
“sudah selesai, cuma tinggal nyari
di internet,”
“tidak
takut mirip jawabannya dengan sahabat-sahabat yang lain, atau salah tugasnya,
karena hanya di buat oleh orang yang iseng saja menaruk di web.”
“gaklah,
semuaya sama saja mereka juga sebelum memasukkan ke web pasti refrensinya
mengambil dari buku”
“ya,
sudah kalau sudah yakin, lagi pula nanti kalau kamu presentasi, apakah bisa
mempertanggung jawabkan jawaban kamu,”
“iya,
insayaallah aku bisa, vin. Aku mau duduk dulu kesana ya.”
“iya,”
tersenyum kecil.
Wajah-wajah gersang setiap kultur,
setiap ideologi bercampur aduk dalam ruangan, satu persatu mahasiswa-wahasiswi
duduk, di bangku. Sebelum dosen datang. Tiba-tiba, dosen yang masih terlampau
muda, datang dan duduk didepan mahasiswa, dan memberikan salam.
“selamat pagi,” sikap yang gagak
penuh bijaksana
“pagi, pak.”
“tugas, kalian kumpulkan.”
Semuanya
bergegas mengumpulkan tugas, satu persatu dan tak lupa pula elik mengumpulkan
tugasnya, kepada dosen, iya sambil tersenyum penuh gairah kepada dosen.
“ini,
pak”
“iya.”
Dosen
mulai mengoreksi satu persatu tugas mahasiswa, ia baca satu persatu dan
mengumpulakannya. Ia melihat salah satu tugas dari mahasiswi, iya membaca nama
di atasnya elik susilawati.
“saya
menemukan tugas dari mahasiswa, yang agak menyimpan. Nama elik, masa iya
mengatakan bahwa pengetahuan sama dengan ilmu. mana yang namanya elik.”
“saya
pak,” sambil mengankat tangannya
“mengapa
kamu mengatakan ilmu itu sama dengan pengetahuan, ngambil refrensi dari mana
kamu ini.”
“ngambil
dari internet pak.”
“ya,
sudah maju kedepan dan jelaskan apa yang kamu ketahui. Mengapa kamu mengatakan
ilmu itu sama dengan pengetahuan, padahal aku sudah bilang minggu lalu berbeda,
hanya sama saja jika menurut bahasanya, tetapi konsepnya berbeda, menagapa kamu
bilang sama, bahkan konsepnyapun sama.”
Elik maju kedepan dan mulai
mempersentasikan apa yang dia ketahui.
“menurut saya itu sama saja, karena
ilmu pasti pengetahuan”
Tampa berbelit-belit dosen, atau pak
wijo, memberikan waktu kepada mahasiswa-mahasiswi untuk bertanya. Vino, mulai
mengangkat tangannya.
“kamu,
ngambil refrensi dari mana itu, lik. Coba jika pengetahuan dengan ilmu sama, kenapa
ada ilmu pengetahuan. Maka itukan memiliki makna ganda atau memiliki arti yang sama sehingga ada
pengulangan bahasa, apakah itu tidak rancu.”
“maaf,saya tidak tahu.”
Kemudian pak wijo, angkat bicara dan
memotong perkataan dari elik.
“bagaiaman,
kamu ini lik, sudah malas kuliah, jadi mahasiswa kok mau praktis, tingkal copy,
saja dari internet, tampa mau belajar mengkritisinya. Apakah seperti ini
mahasiswa. Ya sudah duduk sana, gak usah ikut mata kuliahku.”
Elik berjalan diam kebanggku yang
berjejeran di depannya melewati satu persatu, hingga iya duduk di ujung. Ia
hanya terdiam seperti malu dan tertekan. Pikirannya mulai membias dan tak
berseru apapun. Yang tampak pada pikirannya hanyalah bagimana iya dapat nilai.
Hingga ia tak sadar bahwa mata kuliah telah berakhir. Iapun berjalan keluar.
Dengan gaya penampilan yang elegan. Sambil melangkah mendekati vino.
“vin.. vin... vin...”
“iya, ada apa lik,”
“punyak, tidak nomor hpnya pak
wijo.”
“oh, iya ada. Mangnya ada apa ya.”
“enggak,
aku pengen minta saja, aku ingin berusaha minta maaf, mudah-mudahan ia mau
memaafkanku.”
“oh, iya
ini. 0823xxxxxxxx.”
“oke,
makasi” sambil berjalan melangkah meninggalkan vino.”
Angin-angin
semakin menggelebu, seuntai udara yang dingin tak bermakna, semuanya berjalan
dalam setiap waku setiap manusia mulai menulis kisah, putih atau hitam,
manusialah yang mencetaknya. Manusia yang berjalan diatas kertas, manusia yang
sering meneteskan air matanya, manusia yang terlena dalam dunia yang tak ber
etika.
********
Cahanya meluangkan sejuta pancaran,
kulit-kulit manusia mulai kusam, kusam tampa suara, gadis-gadis lucu ter iringi
tanpa dendang mereka berjalan melaju menuju jutaan kepian harapan, yang
meneteskan darah harapan, meneteskan air mata dari kepian, menuju kepastian
yaitu angka. Angka adalah segala-galanya.
Elik duduk tampa bias, biang lala
melaju dari pikiranku semua tampa kata, ia mulai bersolek dalam kamar kosong
dalam ranjang yang penuh dengan kepalsuan. Sambil memegang hp, dan mencoba mengetik
beberapa bahasa penuh harapan.
Ke pak: wijo, 0823xxx. “met sore
pak. Ini saya elik pak.”
Dari pak wijo, 0823xxx. “met sore
juga ada apa.”
Ke pak: wijo, 0823xxx. “saya boleh
kerumahnya tidak pak.”
Dari pak wijo, 0823xxx. “iya, mau
ngapain, ada perlu apa.”
Ke pak wijo, 0823xxx. “iya, pak saya
ingin pelajaran tambahan dari bapak.”
Dari pak wijo, 0823xxx. “iya, kapan
mau kesini”
Ke pak wijo, 0823xxx. “nanti malam
pak, bisa.”
Dari pak wijo, 0823xxx. “iya.”
Elikpun meraba-raba tubuhnya yang
seksi dengan penuh harapan, iya mencari pakain yang sekiranya mencolok,
menampilkan tubuhnya yang elok, bagaimana sekiranya pak wijo, tertarik
dengannya.
Cahaya-cahaya binar telah tertutupi
oleh harapan dalam ketiak malam, iya berdandan seolah-olah menjadi badut
bidadari yang akan mengendalikan seluruh hasrat laki-laki. Tubuhnya seakan-akan
terlihat, ia memakai pakaian yang tipis, dan tak menggunakan BH, dan kedua bola
hasrat, yang menkerucut seolah-olah mata mengimajinasi ingin memeganngya dengan
penuh harapan.
Ia mulai berjalan dengan penuh
kepercayaan, dalam cahaya binar jalan penuh sorotan lampu yang penuh dengan
kemunafikan,lampu yang megah. Elikpun melaju kencang hingga sampai pada sebuah
rumah kecil,-rumah gambaran penuh kebijaksanan.
“pak, wijo.” Dengan nada yang keras
tetapi penuh kelembutan
Seorang
lelaki setenga baya itupun keluar dari pintu, nampaknya, ia baru bangun dari
benang-benang mimpinya. Iya melangkah menuju seorang perempuan yang berbadan
seksi.
“iya,
silahkan masuk.”
Merekapun
berjalan masuk langkah demi langkah mereka arungi bersama, duduk dikursi yang
empuk.
“bagimana,
lik ada kesulitan,”
“iya
pak, saya ingin belajar dari bapak.”
“mangnya,
apa yang belum kamu ketahui,”
“ini,
pak.” Mengambil buku dari dalam ranselnya.
“coba
saya lihat.”
Nampaknya
elik sangat cerdik, ia mengatur strategi bagaimana pak wijo bisa duduk
disampingnya. Pak wijo kemudian berdiri dan duduk di samping elik. Permainan
sandiwara mulai diperankan oleh elik, tubuhnya dicoba di gerakkan, dengan nada
seksi, iya berucap pada pak wijo, hingga terkadang muncul dalam benak pak wijo,
ingin memetik kedua buah dadah yang mulai tumbuh besar, akan tetapi terkadang
rasionya muncul dan masih belum kalah oleh nafsunya. Elik duduk mendekat dan
mendekap, hingga seperti sepasang kulit yang menyatu. Pak wijo, tak mampu lagi
berfikir rasio. Tanganya tergerak ingin memegang buah dada itu, dan ia mulai
meraba paha elik, elik membiarkan begitu saja, kemudia tangan itu mulai
keaatas, perlahan suara elik yang mulai terbui, oleh nafsu, terdengar begitu
seksi, akan tetapi ketika tangan itu ada di dua buah dada elik, elik langsung
tanggap, dengan strategi yang sudah ia susun untuk mengelabui pak wijo.
“pak,
maksudnya apa ini.”
“maaf,
aku kehilangan kesadaran.”
“saya
tidak nyangka, bapak, mau meraba-raba saya.”
Pak wijo
tunduk dan diam, tersimpul dalam benaknya, bagaiman cara untuk bisa menikmati
tubuhnya elik, yang masih bau kencur. Setan telah mengusai dunia sempit itu, ia
ingat akan permasalahan elik sendiri, bahwa ia bermaslah dengan nilainya.
“kamu
ada masalahkan dengan nilai,”
“iya,
pak.”
Nampaknya
pak wijo, juga sudah mengatur strategi bagaimana elik luluh dari pangkuannya.
“bagaimana,
ya pak. Saya bisa lulus mata kuliah bapak.” Tampa menyisahkan suara yang ia
buat-buat sehingga membuat bulu roma pak wijo berdiri.
Nampak
pak wijo, telah terbuai, jatuh dalam keindahan, tak sabar lagi dengan penantian
hasratnya telah membrontak, ia terjerat dalam perangkat muslihat elik, nampaknya kebijaksanaan tidak tampak lagi
dalam sifat pak wijo.
“bagaimana
lik. Sayakan dosen walinya kamu. Bagaiamana ya, saya bisa saja buat kamu, dapat
IP kamu paling tinggi dikelas.” Parkataannya agak mulai rancu.
“bagaimana,
caranya pak.” Nampaknya dalam hati elik sudah tersenyum, ia hampir berhasil
memperagakan strategi itu.
“bagaimana,
ya. Karena semua jalan itu tak ada yang mulus.”
“saya,
harus bagaimana pak, mau bayar, saya bisa, ko’ pak. Saya harus bayar berapa pak.”
“saya,
gak butuh uang, gaji saya sudah cukup untuk menghidupi saya.”
“terus,
bagaimana pak, caranya.”
“saya,
masih memiliki kekurangan yang belum di penuhi, istri saya sudah lama
meninggalkan saya. Bagaimana jika kamu menggantikan peranan istrinya saya.”
“wah,
saya belum punya kepikiran untuk nikah pak.”
“bukan
itu maksud, saya lik, tetapi hanya sebagai penutup kegersangan saya,
pelampiasan dari hasrat surga dunia saja.”
“aku tak
mengerti maksud bapak.” Tersenyum karena ia sendiri sudah mengerti akan tetapi
ia mencoba mengulur-ulurkan waktu.
“begini,
lo lik, bagaimana ya caranya ngomong, soalnya sensitif banget.”
“ooohh,
bapak gak usah takut, ngomong saja. disini juga sepi jika aku tak bisa,
memenuhi apa yang bapak inginkan, aku juga akan menutup semua apa yang bapak
katakan.”
“sebenarnya,
ini tapi ingat, nilai kamu terancam. Saya bisa saja tidak luluskan kamu sampai
tujuh tahun,” nampaknya pak wijo mulai mengancam elik, jelas ini bukan rasio
lagi akan tetapi yang bergerak sudah bagian alam bawah sadarnya, dari titik
pusar hingga kebawah yang menonjol.
“maka,
dari itu saya kesini pak, supanya saya bisa lulus dengan nilai terbaik,”
“tapi,
kamu ini, sangat sulit, untuk di bantu, sangat berat. Kecuali.........,,,”
Elik
lansung memotong pembicaraan pak wijo.
“kecuali
apa pak.” Dengan nada yang lembut penuh harapan
Nampaknya
pak wijo, sudah tak bisa menahan dirinya.
“kecuali,
kamu ingin mengganti peranan seorang istri, mengasa tongkat nabi musa saya.”
Elik
hanya tersenyum manis terhadap pak wijo, nampaknya ia memberikan isyarat bahwa
ia saggup melakukan semua itu.
Sepasang
dua bola mata saling menatap, pak wijopun mendekat elik dan memeluknya sperti
ketika dalam suatu ruang yang dingin dan meluk erat sebuah bantal dan selimut.
Mereka
saling menatap mata, tangan pak wijo meremas buah dada yang masih kencur itu,
nampaknya elik, mengeliat seakan akan tubuhnya tersitrum, pak wijo menyentuh
bibir yang berbias kemerah-merahan, tangannya menggenggam erat pundak pak wijo.
Satu-persatu kancin baju pak wijo lepas, ke agresifan dan gairah pak wijo mulai
tampak pada permainan-permainan bibirnya. Pak wijo mulai membuka baju elik, nafas
elik mulai berhembus begitu melesat, suara-suara yang seksi, diselingi denga
nafas desa’an panjang.. ah....ah....ahh....ahhhhhh.. itulah yang hanya
terdengar dari suara elik, tampa malu. Mereka telah berada dalam lubung
kehinanan seperti anjing-anjing hina, tubuh mereka yang tak di tutupi sehelai
benang. Suara rintihan terdengar dari elik, merengek kesakitan, karena lubang
yang masih kecil, selaput yang belum pecah, gumplan air mata bercampur keringat
membasah muka elik, peranan tangan pak wijo,mulai diperagakan memegang, buah
dada yang masih elok. Hingga pak, wijo merasa puasa, dan lemas.
Elipun bangun
dan memakai pakaiannya. Hingga ia merasakan sesuatu yang telah hilang dari
tubuhnya, hingga ia merasakan seperti telah terjun dalam dunia baru, kehilanga
kemandiriannya, dan merasa kotor, akan tetapi semua itu ia tutupi, karena ia
merasa aman, ia mendapatkan apa yang telah ia cari.
Setelah
itu ia pamit, dan pulang, walaupun terkadang datang bayangan, apa yng barusan
terjadi, perutnya masih terasa seperti habis ter iris-iris, sakit, sampai ia
dalam kontrakannya, pipispun ia merasa perih. Ia hanya selalu tunduk dan diam.
*****
Musim ujian telah berakhir, elik tak
sabar ingin mengetahui apa yang telah ia lakukan dan menagih janji dari pak
wijo, setelah berulang kali, ia merintih demi mendapatkan nilai, ia melihat
namanyalah yang paling atas. Kecurigaan telah tampak pada teman-temannya.
Mengapa elik, bisa mendapatkan nilai yang tinggi padahal elik sendiri jarang
masuk, akan tetapi hanya sering bertanya saja ketika pelajran pak wijo,
pertanyaan itu sendiri dari pak wijo, yang diberikan kepada elik sebelum ia
masuk kelas. Tetapi ada satu nilai yang tak bisa di selamatkan, yaitu nilai
mata kuliah PPKN, dan dosennya adalah pak, murji.
Elik mencoba, merayu pak murji, sama
seperti apa yang dilakukannya kepada pak wijo, akan tetapi ia tak bisa, meski
ia minta bantuan kepada pak wijo, tetapi pak wijo tak mau. Malah pak murji di
ajak kencang, tetapi pak murji, malah membuka semua rahasia elik, hingga
akhirnya elikpun terbongkar, inilah wajah ayam kampus demi nilai, darah
sucinyapun mengalir begitu saja.
Sejauh itu teman-temannya
menjauhinya, meski ia menyapa beberapa kali, tetapi ia telah diklaim oleh
teman-temannya sebagai ayam kampus, menjadi bahan omongan. Di cemo’oh. Hingga
akhirnya, bukan hanya dengan nilai saja, jika ingin menikmati tubuhnya, ia
mulai mengatakan seks itu adalah kebutuhan, hingga akhirnya, ia terkadang
bersedih dengan semua laki-laki yang dekat denganya. Hanya ingin menikmati saja
tubuhnya.
Ia padahal ingin mendapatkan cinta
suci, akan tetapi ini, hanyalah sebuah impian. Ia tertarik dengan vino, tetapi
malah vino, menjauhinya.
“vin,
kamu kenapa, aku ingin kamu yang megisi setiap detik kisahku, setiap
langkahku.”
“lik,
cintaku bukan hanya isi celanaku saja, akan tetapi cintaku suci, maka betapa
sagat aku ingin mendapatkan cinta dari seorang wanita yang suci.”
Elik
hanya terdiam, dan tak mampu lagi mencucurkan kata, ia merasa kotor, ia merasa
hina. Ia berfikir buat apakah semua nilai ini, buat apakah semua kesenagan ini,
jika seorang yang ia sagat cintai tak bisa ia dapatkan, jika seorang yang ia ingini
menggerogoti tubuhnya dengan cinta yang suci, tak pernah terwujud. Setiap hari
hanya tangisan penyesalanlah yang mengiringi setiap langkah cerita elik, namun
apalah daya semuanya telah terjadi, nilai yang ia idamkan, hanyalah formalitas,
tetapi apa yang sangat fundamental telah hilang dari dirinya.
No comments:
Post a Comment