Tuesday, March 18, 2014

DARAH DARI ANGKA

Add caption


“manusia yang berjalan, manusia yang terhenti, manusia yang meraskan, maka manusia yang akan mengendalikan semuanya, manusia yang harus menulis semuanya, karena manusia adalah kisah, dan kisah adalah manusia.”
(Sahril. B.S)






                kusam dari wajah yang gersam, dari dunia-dunia yang membias, beberapa manusia yang mulai berdiaspora, beberapa manusia yang mulai antri, dan beberapa .manusia yang melakuakan aktivitas akademik. Terik matahari tak mampu untuk menjawabnya, terik matahri semakin menyengat kulit bumi, karena bukan hanya cahayanya yang menyentuh bumi, akan tetapi air matanya yang menetes di bumi, air mata yang panas dari bola yang panas.
            Pagi-pagi yang cerah suara-suara mesin, motor yang berjalan laju kencang, manusia terkendalikan menuju beberapa arah secara kolektif, menuju suatu yang menghilangkan kemandiriannya.
            “pagi, vino, lagi ngapain nich.” Sambil tersenyum
            “nich lagi ngerjakanan tugas lik, kamu sudah selesai tah lik, ngerjakan tugasnya.” Menundukkan badan tak mau menatap elik.
            “sudah selesai, cuma tinggal nyari di internet,”
“tidak takut mirip jawabannya dengan sahabat-sahabat yang lain, atau salah tugasnya, karena hanya di buat oleh orang yang iseng saja menaruk di web.”
“gaklah, semuaya sama saja mereka juga sebelum memasukkan ke web pasti refrensinya mengambil dari buku”
“ya, sudah kalau sudah yakin, lagi pula nanti kalau kamu presentasi, apakah bisa mempertanggung jawabkan jawaban kamu,”
“iya, insayaallah aku bisa, vin. Aku mau duduk dulu kesana ya.”
“iya,” tersenyum kecil.
            Wajah-wajah gersang setiap kultur, setiap ideologi bercampur aduk dalam ruangan, satu persatu mahasiswa-wahasiswi duduk, di bangku. Sebelum dosen datang. Tiba-tiba, dosen yang masih terlampau muda, datang dan duduk didepan mahasiswa, dan memberikan salam.
            “selamat pagi,” sikap yang gagak penuh bijaksana
            “pagi, pak.”
            “tugas, kalian kumpulkan.”
Semuanya bergegas mengumpulkan tugas, satu persatu dan tak lupa pula elik mengumpulkan tugasnya, kepada dosen, iya sambil tersenyum penuh gairah kepada dosen.
“ini, pak”
“iya.”
Dosen mulai mengoreksi satu persatu tugas mahasiswa, ia baca satu persatu dan mengumpulakannya. Ia melihat salah satu tugas dari mahasiswi, iya membaca nama di atasnya elik susilawati.
“saya menemukan tugas dari mahasiswa, yang agak menyimpan. Nama elik, masa iya mengatakan bahwa pengetahuan sama dengan ilmu. mana yang namanya elik.”
“saya pak,” sambil mengankat tangannya
“mengapa kamu mengatakan ilmu itu sama dengan pengetahuan, ngambil refrensi dari mana kamu ini.”
“ngambil dari internet pak.”
“ya, sudah maju kedepan dan jelaskan apa yang kamu ketahui. Mengapa kamu mengatakan ilmu itu sama dengan pengetahuan, padahal aku sudah bilang minggu lalu berbeda, hanya sama saja jika menurut bahasanya, tetapi konsepnya berbeda, menagapa kamu bilang sama, bahkan konsepnyapun sama.”
            Elik maju kedepan dan mulai mempersentasikan apa yang dia ketahui.
            “menurut saya itu sama saja, karena ilmu pasti pengetahuan”
            Tampa berbelit-belit dosen, atau pak wijo, memberikan waktu kepada mahasiswa-mahasiswi untuk bertanya. Vino, mulai mengangkat tangannya.
“kamu, ngambil refrensi dari mana itu, lik. Coba jika pengetahuan dengan ilmu sama, kenapa ada ilmu pengetahuan. Maka itukan memiliki makna ganda  atau memiliki arti yang sama sehingga ada pengulangan bahasa, apakah itu tidak rancu.”
            “maaf,saya tidak tahu.”
            Kemudian pak wijo, angkat bicara dan memotong perkataan dari elik.
“bagaiaman, kamu ini lik, sudah malas kuliah, jadi mahasiswa kok mau praktis, tingkal copy, saja dari internet, tampa mau belajar mengkritisinya. Apakah seperti ini mahasiswa. Ya sudah duduk sana, gak usah ikut mata kuliahku.”
            Elik berjalan diam kebanggku yang berjejeran di depannya melewati satu persatu, hingga iya duduk di ujung. Ia hanya terdiam seperti malu dan tertekan. Pikirannya mulai membias dan tak berseru apapun. Yang tampak pada pikirannya hanyalah bagimana iya dapat nilai. Hingga ia tak sadar bahwa mata kuliah telah berakhir. Iapun berjalan keluar. Dengan gaya penampilan yang elegan. Sambil melangkah mendekati vino.
            “vin.. vin... vin...”
            “iya, ada apa lik,”
            “punyak, tidak nomor hpnya pak wijo.”
            “oh, iya ada. Mangnya ada apa ya.”
“enggak, aku pengen minta saja, aku ingin berusaha minta maaf, mudah-mudahan ia mau memaafkanku.”
“oh, iya ini. 0823xxxxxxxx.”
“oke, makasi” sambil berjalan melangkah meninggalkan vino.”
Angin-angin semakin menggelebu, seuntai udara yang dingin tak bermakna, semuanya berjalan dalam setiap waku setiap manusia mulai menulis kisah, putih atau hitam, manusialah yang mencetaknya. Manusia yang berjalan diatas kertas, manusia yang sering meneteskan air matanya, manusia yang terlena dalam dunia yang tak ber etika.
********
            Cahanya meluangkan sejuta pancaran, kulit-kulit manusia mulai kusam, kusam tampa suara, gadis-gadis lucu ter iringi tanpa dendang mereka berjalan melaju menuju jutaan kepian harapan, yang meneteskan darah harapan, meneteskan air mata dari kepian, menuju kepastian yaitu angka. Angka adalah segala-galanya.
            Elik duduk tampa bias, biang lala melaju dari pikiranku semua tampa kata, ia mulai bersolek dalam kamar kosong dalam ranjang yang penuh dengan kepalsuan. Sambil memegang hp, dan mencoba mengetik beberapa bahasa penuh harapan.
            Ke pak: wijo, 0823xxx. “met sore pak. Ini saya elik pak.”
            Dari pak wijo, 0823xxx. “met sore juga ada apa.”
            Ke pak: wijo, 0823xxx. “saya boleh kerumahnya tidak pak.”
            Dari pak wijo, 0823xxx. “iya, mau ngapain, ada perlu apa.”
            Ke pak wijo, 0823xxx. “iya, pak saya ingin pelajaran tambahan dari bapak.”
            Dari pak wijo, 0823xxx. “iya, kapan mau kesini”
            Ke pak wijo, 0823xxx. “nanti malam pak, bisa.”
            Dari pak wijo, 0823xxx. “iya.”
            Elikpun meraba-raba tubuhnya yang seksi dengan penuh harapan, iya mencari pakain yang sekiranya mencolok, menampilkan tubuhnya yang elok, bagaimana sekiranya pak wijo, tertarik dengannya.
            Cahaya-cahaya binar telah tertutupi oleh harapan dalam ketiak malam, iya berdandan seolah-olah menjadi badut bidadari yang akan mengendalikan seluruh hasrat laki-laki. Tubuhnya seakan-akan terlihat, ia memakai pakaian yang tipis, dan tak menggunakan BH, dan kedua bola hasrat, yang menkerucut seolah-olah mata mengimajinasi ingin memeganngya dengan penuh harapan.
            Ia mulai berjalan dengan penuh kepercayaan, dalam cahaya binar jalan penuh sorotan lampu yang penuh dengan kemunafikan,lampu yang megah. Elikpun melaju kencang hingga sampai pada sebuah rumah kecil,-rumah gambaran penuh kebijaksanan.
            “pak, wijo.” Dengan nada yang keras tetapi penuh kelembutan
Seorang lelaki setenga baya itupun keluar dari pintu, nampaknya, ia baru bangun dari benang-benang mimpinya. Iya melangkah menuju seorang perempuan yang berbadan seksi.
“iya, silahkan masuk.”
Merekapun berjalan masuk langkah demi langkah mereka arungi bersama, duduk dikursi yang empuk.
“bagimana, lik ada kesulitan,”
“iya pak, saya ingin belajar dari bapak.”
“mangnya, apa yang belum kamu ketahui,”
“ini, pak.” Mengambil buku dari dalam ranselnya.
“coba saya lihat.”
Nampaknya elik sangat cerdik, ia mengatur strategi bagaimana pak wijo bisa duduk disampingnya. Pak wijo kemudian berdiri dan duduk di samping elik. Permainan sandiwara mulai diperankan oleh elik, tubuhnya dicoba di gerakkan, dengan nada seksi, iya berucap pada pak wijo, hingga terkadang muncul dalam benak pak wijo, ingin memetik kedua buah dadah yang mulai tumbuh besar, akan tetapi terkadang rasionya muncul dan masih belum kalah oleh nafsunya. Elik duduk mendekat dan mendekap, hingga seperti sepasang kulit yang menyatu. Pak wijo, tak mampu lagi berfikir rasio. Tanganya tergerak ingin memegang buah dada itu, dan ia mulai meraba paha elik, elik membiarkan begitu saja, kemudia tangan itu mulai keaatas, perlahan suara elik yang mulai terbui, oleh nafsu, terdengar begitu seksi, akan tetapi ketika tangan itu ada di dua buah dada elik, elik langsung tanggap, dengan strategi yang sudah ia susun untuk mengelabui pak wijo.
“pak, maksudnya apa ini.”
“maaf, aku kehilangan kesadaran.”
“saya tidak nyangka, bapak, mau meraba-raba saya.”
Pak wijo tunduk dan diam, tersimpul dalam benaknya, bagaiman cara untuk bisa menikmati tubuhnya elik, yang masih bau kencur. Setan telah mengusai dunia sempit itu, ia ingat akan permasalahan elik sendiri, bahwa ia bermaslah dengan nilainya.
“kamu ada masalahkan dengan nilai,”
“iya, pak.”
Nampaknya pak wijo, juga sudah mengatur strategi bagaimana elik luluh dari pangkuannya.
“bagaimana, ya pak. Saya bisa lulus mata kuliah bapak.” Tampa menyisahkan suara yang ia buat-buat sehingga membuat bulu roma pak wijo berdiri.
Nampak pak wijo, telah terbuai, jatuh dalam keindahan, tak sabar lagi dengan penantian hasratnya telah membrontak, ia terjerat dalam perangkat muslihat elik,  nampaknya kebijaksanaan tidak tampak lagi dalam sifat pak wijo.
“bagaimana lik. Sayakan dosen walinya kamu. Bagaiamana ya, saya bisa saja buat kamu, dapat IP kamu paling tinggi dikelas.” Parkataannya agak mulai rancu.
“bagaimana, caranya pak.” Nampaknya dalam hati elik sudah tersenyum, ia hampir berhasil memperagakan strategi itu.
“bagaimana, ya. Karena semua jalan itu tak ada yang mulus.”
“saya, harus bagaimana pak, mau bayar, saya bisa, ko’ pak. Saya harus bayar berapa pak.”
“saya, gak butuh uang, gaji saya sudah cukup untuk menghidupi saya.”
“terus, bagaimana pak, caranya.”
“saya, masih memiliki kekurangan yang belum di penuhi, istri saya sudah lama meninggalkan saya. Bagaimana jika kamu menggantikan peranan istrinya saya.”
“wah, saya belum punya kepikiran untuk nikah pak.”
“bukan itu maksud, saya lik, tetapi hanya sebagai penutup kegersangan saya, pelampiasan dari hasrat surga dunia saja.”
“aku tak mengerti maksud bapak.” Tersenyum karena ia sendiri sudah mengerti akan tetapi ia mencoba mengulur-ulurkan waktu.
“begini, lo lik, bagaimana ya caranya ngomong, soalnya sensitif banget.”
“ooohh, bapak gak usah takut, ngomong saja. disini juga sepi jika aku tak bisa, memenuhi apa yang bapak inginkan, aku juga akan menutup semua apa yang bapak katakan.”
“sebenarnya, ini tapi ingat, nilai kamu terancam. Saya bisa saja tidak luluskan kamu sampai tujuh tahun,” nampaknya pak wijo mulai mengancam elik, jelas ini bukan rasio lagi akan tetapi yang bergerak sudah bagian alam bawah sadarnya, dari titik pusar hingga kebawah yang menonjol.
“maka, dari itu saya kesini pak, supanya saya bisa lulus dengan nilai terbaik,”
“tapi, kamu ini, sangat sulit, untuk di bantu, sangat berat. Kecuali.........,,,”
Elik lansung memotong pembicaraan pak wijo. 
“kecuali apa pak.” Dengan nada yang lembut penuh harapan
Nampaknya pak wijo, sudah tak bisa menahan dirinya.
“kecuali, kamu ingin mengganti peranan seorang istri, mengasa tongkat nabi musa saya.”
Elik hanya tersenyum manis terhadap pak wijo, nampaknya ia memberikan isyarat bahwa ia saggup melakukan semua itu.
Sepasang dua bola mata saling menatap, pak wijopun mendekat elik dan memeluknya sperti ketika dalam suatu ruang yang dingin dan meluk erat sebuah bantal dan selimut.
Mereka saling menatap mata, tangan pak wijo meremas buah dada yang masih kencur itu, nampaknya elik, mengeliat seakan akan tubuhnya tersitrum, pak wijo menyentuh bibir yang berbias kemerah-merahan, tangannya menggenggam erat pundak pak wijo. Satu-persatu kancin baju pak wijo lepas, ke agresifan dan gairah pak wijo mulai tampak pada permainan-permainan bibirnya. Pak wijo mulai membuka baju elik, nafas elik mulai berhembus begitu melesat, suara-suara yang seksi, diselingi denga nafas desa’an panjang.. ah....ah....ahh....ahhhhhh.. itulah yang hanya terdengar dari suara elik, tampa malu. Mereka telah berada dalam lubung kehinanan seperti anjing-anjing hina, tubuh mereka yang tak di tutupi sehelai benang. Suara rintihan terdengar dari elik, merengek kesakitan, karena lubang yang masih kecil, selaput yang belum pecah, gumplan air mata bercampur keringat membasah muka elik, peranan tangan pak wijo,mulai diperagakan memegang, buah dada yang masih elok. Hingga pak, wijo merasa puasa, dan lemas.
Elipun bangun dan memakai pakaiannya. Hingga ia merasakan sesuatu yang telah hilang dari tubuhnya, hingga ia merasakan seperti telah terjun dalam dunia baru, kehilanga kemandiriannya, dan merasa kotor, akan tetapi semua itu ia tutupi, karena ia merasa aman, ia mendapatkan apa yang telah ia cari.
Setelah itu ia pamit, dan pulang, walaupun terkadang datang bayangan, apa yng barusan terjadi, perutnya masih terasa seperti habis ter iris-iris, sakit, sampai ia dalam kontrakannya, pipispun ia merasa perih. Ia hanya selalu tunduk dan diam.
*****
            Musim ujian telah berakhir, elik tak sabar ingin mengetahui apa yang telah ia lakukan dan menagih janji dari pak wijo, setelah berulang kali, ia merintih demi mendapatkan nilai, ia melihat namanyalah yang paling atas. Kecurigaan telah tampak pada teman-temannya. Mengapa elik, bisa mendapatkan nilai yang tinggi padahal elik sendiri jarang masuk, akan tetapi hanya sering bertanya saja ketika pelajran pak wijo, pertanyaan itu sendiri dari pak wijo, yang diberikan kepada elik sebelum ia masuk kelas. Tetapi ada satu nilai yang tak bisa di selamatkan, yaitu nilai mata kuliah PPKN, dan dosennya adalah pak, murji.
            Elik mencoba, merayu pak murji, sama seperti apa yang dilakukannya kepada pak wijo, akan tetapi ia tak bisa, meski ia minta bantuan kepada pak wijo, tetapi pak wijo tak mau. Malah pak murji di ajak kencang, tetapi pak murji, malah membuka semua rahasia elik, hingga akhirnya elikpun terbongkar, inilah wajah ayam kampus demi nilai, darah sucinyapun mengalir begitu saja.
            Sejauh itu teman-temannya menjauhinya, meski ia menyapa beberapa kali, tetapi ia telah diklaim oleh teman-temannya sebagai ayam kampus, menjadi bahan omongan. Di cemo’oh. Hingga akhirnya, bukan hanya dengan nilai saja, jika ingin menikmati tubuhnya, ia mulai mengatakan seks itu adalah kebutuhan, hingga akhirnya, ia terkadang bersedih dengan semua laki-laki yang dekat denganya. Hanya ingin menikmati saja tubuhnya.
            Ia padahal ingin mendapatkan cinta suci, akan tetapi ini, hanyalah sebuah impian. Ia tertarik dengan vino, tetapi malah vino, menjauhinya.
“vin, kamu kenapa, aku ingin kamu yang megisi setiap detik kisahku, setiap langkahku.”
“lik, cintaku bukan hanya isi celanaku saja, akan tetapi cintaku suci, maka betapa sagat aku ingin mendapatkan cinta dari seorang wanita yang suci.”
Elik hanya terdiam, dan tak mampu lagi mencucurkan kata, ia merasa kotor, ia merasa hina. Ia berfikir buat apakah semua nilai ini, buat apakah semua kesenagan ini, jika seorang yang ia sagat cintai tak bisa ia dapatkan, jika seorang yang ia ingini menggerogoti tubuhnya dengan cinta yang suci, tak pernah terwujud. Setiap hari hanya tangisan penyesalanlah yang mengiringi setiap langkah cerita elik, namun apalah daya semuanya telah terjadi, nilai yang ia idamkan, hanyalah formalitas, tetapi apa yang sangat fundamental telah hilang dari dirinya.

No comments:

Post a Comment